Wilayah Lawang di masa klasik



Lawang merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Malang sebelah utara. Kecamatan ini merupakan salah satu dari 33 kecamatan yang ada di Kabupaten Malang. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan :

  1. Sebelah utara    : Kabupaten Pasuruan
  2. Sebelah timur    : Kecamatan Jabung
  3. Sebelah selatan : Kecamatan Singosari
  4. Sebelah barat    : Kecamatan Singosari.
Kecamatan ini sekarang menjadi “pintu masuk” kota dan kabupaten Malang dari arah utara, tepatnya dari Surabaya. Kondisi geografis kota kecamatan termasuk daerah pegunungan dengan ketinggian 485-560 meter di atas permukaan laut, memiliki kemiringan 15 %. Suhu rata-rata 22C - 32⁰ dengan curah hujan rata-rata 349 mm/tahun. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 68,23 km2, dengan wilayah administratif yang terbagi dalam 10 Desa dan 2 Kelurahan. Mereka adalah desa Sidoluhur, desa Srigading, desa Sidodadi, desa Bedali, desa Ketindan, desa Wonorejo, desa Turirejo, desa Sumberporong, desa Sumberngepoh dan desa Mulyoarjo dan 2 kelurahan tersebut adalah kelurahan Lawang dan kelurahan Kalirejo (lawang. Malangkab.go.id).

Keberadaan Lawang dalam catatan sejarah nampaknya sudah dimulai sejak lama. Meski namanya di masa lampau bukanlah Lawang. Namun posisi daerah ini sebagai “pintu masuk” nampaknya masih sama. Nah uraian lebih jelasnya akan saya ulas dalam tulisan di bawah ini:

Toponimi Lawang memang sejauh ini belum pernah ditemukan di sejumlah inkripsi maupun kitab-kitab kuno lain. Namun nama sejumlah daerah yang sekarang (secara administrasi sekarang) masuk wilayah kecamatan Lawang. Secara kronologis terdapat sejumlah naskah yang menguraikan tentang nama-nama tempat tersebut. 

Rute Perjalanan Hayam Wuruk tahun 1359 M, yang dilaporkan Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama  (Sidomulyo, 2007 : xiv)


Nagarakretagama — karya sastra yang menceritakan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke sejumlah wilayah di Jawa Timur —  merupakan karya sastra  yang menyebut sejumlah wilayah yang berdasar hasil identifikasi adalah berada di kecamatan Lawang sekarang. Nagarakretagama pupuh 55 menyebutkan :

Krama šubhakãla mangkat ahawan banu hangêt I banir muwah talijungan, amgil i wêdhwawêdwan irikang dina mahãwan I kûwarahã ri cêlong, mwang i dadamar garantang i pagêr talaga pahanangan têkekha dinunung.

Terjemahannya (Sidomulyo, 2007 : 81):

….ia berangkat melalui Banu Hangêt, Banir, dan Talijungan, bermalam di Wêdhwa-wêdwan. Pada hari berikut melewati Kûwarahã dan Cêlong, serta Dadamar, Garantang, Pagêr Talaga dan pahanangan.

Sementara terjemahan Slamet Muljana (2009 : 376)

….tatkala subkala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir, dan Talijungan

Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar

Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau

Rute yang dilalui Hayam Wuruk saat kembali ke Keraton Majapahit menurut pupuh 55
(Sidomulyo, 2007 : 120)




Setelah melakukan perjalanan ± 2 bulan, Hayam Wuruk mulai merindukan kehidupan di kota. Maka selepas kunjungan ke Singhasari yang juga diisi dengan perburuan, raja memutuskan pulang. Perjalanan pulang ini menurut Sidomulyo mengambil arah utara (dari ibukota Singhasari masa itu), melalui Banu Hangêt, Banir, dan Talijungan, sampai di Wêdhwa-wêdwan, tempat bermalam rombongan Raja Hayam Wuruk.

Di antara nama-nama daerah tersebut, hanya Wêdhwa-wêdwan yang dapat diidentifikasikan pada masa sekarang. Kemungkinan posisi Wêdhwa-wêdwan berada di bukit Wedon, yang tampak di sebelah barat jalan raya di desa Turirejo, Kecamatan Lawang, 9 km di sebelah utara Singosari.

Pada Nagarakretagama pupuh 73: 3 nama Wêdhwa-wêdwan tercatat di antara 27 sudharma haji yang didirikan untuk para raja dari wangsa Rajasa serta leluhurnya. Siapakah tokoh yang di-dharma-kan di tempat tersebut belum diketahui. Tetapi karena letaknya berdekatan dengan Singosari, dapat diduga bahwa dharma di Wêdhwa-wêdwan mewakili salah seorang penguasa di Tumapel (Sidomulyo, 2007 : 8).  

Terjemahan Pupuh 73 : 3 tersebut menurut Slamet Muljana adalah sebagai berikut:

Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan

Disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan

Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan Kalang Brat, dan Jago

Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger

Selain penyebutan wilayah di Lawang muncul kembali dalam Pararaton, salah satu karya sastra membahas kerajaan Singhasari dan Majapahit. Penyebutan ini muncul pada kisah yang lebih tua daripada kunjungan Hayam Wuruk ke Singhasari. Yaitu peristiwa jatuhnya Kerajaan Singhasari karena serangan raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (atau Daha dalam beberapa teks yang lain). Teks Pararaton berbunyi :

Sanjata kang saka loring Tumapěl wong Daha kang alaala, tunggul kalawan tatabuhan pěnuh, rusak deҫa saka loring Tumapěl, akeh atawan kanin kang amaměrangakěn. Sanjata Daha kang amarga lor mandeg ing Měměling.

Terjemahannya (Padmapuspita, 1966: 71) — dengan penyesuaian ejaan dari penulis.

Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.

Poin bahwa tentara Daha berhenti di Memeling itu juga ada di dalam Kidung Harsawijaya. Memeling diidentifikasi sebagai dusun Meling di desa Bedali, 6 km di sebelah utara Singosari.

Nah jika identifikasi ini dapat diterima, maka akan muncul sejumlah intepretasi baru berkaitan dengan jalur pulang Hayam Wuruk dari kunjungannya. Intepretasi jalur pertama adalah mengikuti arah jalan raya Singosari-Lawang sekarang. Jika itu yang benar maka akan muncuk identifikasi baru terkait toponomi Banu Hangêt. Nama itu mengacu pada pemandian air panas. Pada jalur yang diuraikan oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama terdapat bekas pemandian Kuna yang berada di Dusun Polaman, dusun tetangga Meling. Jadi masih dalam 1 desa, yaitu  desa Bedali.

Sidomulyo (2007 : 82) menguraikan jika kini sumber di Polaman hanya mengeluarkan air dingin, tetapi belum tentu begitu pada masa lalu. Di samping itu di Polaman masih ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu candi, baik di sekitar pemandian maupun di sebuah gua yang terletak pada jarak 350 m di sebelah barat laut. Menurut tradisi setempat, gua tersebut bekas pertapaan Ken Angrok. Seandainya Banu Hangêt terletak di dusun Polaman sekarang, kedua desa Banir dan Talijungan perlu dicari di sekitar pusat kecamatan Lawang.

Sementara intepretasi jalur kedua, ada kemungkinan bahwa Hayam Wuruk memilih jalan memutar yang lebih jauh di sebelah barat dan melewati situs yang kini dikenal dengan nama candi Sumberawan, termasuk desa Toyomarto. Menurut penduduk desa di Sumberawan dahulu ada sumber air panas, yang mungkin dapat disamakan dengan Banu Hangêt.

Kembali ke pembahasan penyebutan sejumlah toponimi wilayah di Lawang, maka bisa dikatakan pada masa Singhasari pun, wilayah Lawang adalah wilayah yang berdekatan dengan ibukota. Tepatnya sebagai pintu masuk menuju ibukota kerajaan Singhasari (yang diidentifikasi berada di sekitar candi Singosari dan Arca Dwarapala).

Lawang di masa kuna sudah ada sejumlah peradaban. Hal ini dibuktikan dengan penyebutan nama wilayah oleh sejumlah teks-teks kuna. Pada masa kolonial daerah ini pun juga menjadi tempat peristirahatan bagi orang-orang Belanda. Keberadaan sejumlah bangunan Indis di hampir setiap sudut wilayah adalah bukti konkritnya. Ditambah dengan adanya hotel Niagara, hotel dengan gaya Indis, di dekat pusat kecamatan Lawang sekarang. Tema ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Selamat membaca ^_^.



Referensi:

Muljana, Slamet. 2009. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS. Cetakan IV

Padmapuspita, Ki. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa

Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Yayasan Nandiswara dan Jurusan Pendidikan Sejarah Unesa.
lawang. Malangkab.go.id.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya

Telaah singkat Kidung Harsawijaya