Telaah singkat Kidung Harsawijaya




Kidung Harsawijaya merupakan kidung yang mengambil tema tentang kisah didirikannya Majapahit oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya menjadi raja pertama dengan gelar Krtarajasa Jayawardhana. Berikut adalah ikhtisar dari Kidung Harsawijaya disarikan dari Kalangwan karya P.J. Zoetmulder (dengan penyesuaian bahasa seperlunya). 

Ikhtisar Kidung Harsawijaya
Raja Narasingha dari Singhasari beserta sang prameswari dianugrahi seorang putra yang diberi nama Harsawijaya. Harsawijaya tumbuh menjadi seorang pangeran yang rupawan, cerdas dan gagah berani, serta unggul dalam tiap cabang seni. Sang Pangeran dibesarkan bersama dengan putra-putra pejabat kraton, yang kemudian menjadi teman-temannya sehari-hari. Mereka adalah Lawe, Nambi, Sora, Pedang, Dangdi, Gajah Pagon dan Lembu Peteng.
Suatu saat Sang Raja sakit parah. Ketika beliau merasa bahwa ajal semakin dekat, maka diangkatlah saudara sepupu dari Narasingha yaitu Krtanegara sebagai pewaris (sementara) tahta kerajaan. Sekaligus sebagai pengasuh putranya, Harsawijaya. Kelak jika dia sudah cukup dewasa ia dapat mengambil alih pemerintahan.
Di bawah pemerintahan raja yang baru, kerajaan mengalami kemunduran. Patih, kepala para brahmin dan pejabat-pejabat tinggi lainnya mengundurkan diri karena mereka tidak setuju dengan cara Krtanagara mempergunakan kekuasaannya. Krtanegara memutuskan kedua puterinya Puspawati dan Pusparasmi diberikan kepada putera mahkota sebagai isteri; ia sendiri akan mengundurkan diri sebagai seorang pertapa (bagawan). Keputusan ini diambil ketika Harsawijaya telah sampai pada usia dewasa dan telah cukup usia untuk dinobatkan menjadi raja (abhiseka).
Saat itu pula patih Aněngah mengusulkan agar diadakan suatu ekspedisi ke Malayu dan memaksa raja negeri itu untuk menyerahkan kedua puterinya, Dara Pětak dan Dara Jingga, kepada Harsawijaya, untuk dijadikan mahadewi (istri yang sederajat dengan permaisuri). Dan dengan demikian menggenapi angka empat bagi istri-istrinya.
Krtanagara telah diingatkan oleh bekas patih, Raganata bahwa Jayakatwang raja Kadiri (Daha) dan vasalnya, sudah cukup lama tidak menghadap ke kraton. Raganata juga memperingatkan tidak bijaksana jika kraton tidak dilindungi oleh pasukan. Namun peringatan dari Raganata ini diabaikan oleh sang Raja.  
Kemudian Raja mengajak Pangeran Harsawijaya untuk berkunjung ke Keputrian.  Keberadaannya di sana bertujuan memberi kabar mengenai keputusan rapat. Bahwa kedua putri Krtanagara itu akan dinikahkan dengan Harsawijaya.
Pasukan Singhasari yang berencana melakukan ekspedisi ke Malayu berangkat dari Tuban. Momen ini dimanfaatkan Wiraraja — seorang pejabat di bawah Narasingha, namun disingkirkan di era Krtanagara, dan dijadikan adipati di Madura — untuk balas dendam. Wiraraja melihat saat itu — kekosongan Singhasari dari para pasukan — adalah kesempatan yang baik.  
Wiraraja mengutus Wirondaya, putranya untuk menghasut Jayakatwang agar ia memberontak. Maka, Jayakatwang pun minta nasihat pada sang patih. Patih Kebo Mundarang mengingatkan bahwa ayah raja Jayakatwang merupakan raja terakhir di Kadiri, yang kemudian dikalahkan dan dijadikan bawahan oleh pendahulu Krtanagara. Sang patih memberi nasihat supaya Jayakatwang jangan melewatkan kesempatan ini dan merebut kembali kemerdekaannya serta menghukum Singhasari untuk segala penghinaan yang ditimpakan kepada wangsa Kadiri. Kemudian disusunlah strategi penyerangan Singhasari dengan dua cara. Yakni akan ada dua pasukan yang berperang, yang satu akan mengikuti rute ke utara diiringi sebanyak mungkin keramaian sehingga diketahui oleh umum, sedangkan yang lain secara diam-diam dam tersembunyi akan melintasi hutan-hutan di selatan.
Di lain pihak Ratu Singhasari diberitahu mengenai malapetaka yang akan datang melalui sebuah impian. Mimpi itu menceritakan bahwa hanya Harsawijaya yang akan lolos dari malapetaka. Mendengarr cerita itu, Sang Raja mengira bahawa malapetaka itu berkaitan dengan ekspedisi Pamalayu. Maka ia memerintahkan para pendeta untuk melakukan upacara-upacara yang tepat guna menghalau bahaya. Pada saat yang sama, datanglah laporan dari Madura yang menyebut-nyebut bahaya yang datang dari pihak Jayakatwang.
Namun Krtanagara tidak mau percaya pada berita tadi. Dan oleh patihnya dia didukung dalam rasa aman yang palsu. Tetapi tiba-tiba sang Raja dikejutkan oleh pengungsi-pengungsi dari utara yang membanjiri ibu kota. Mereka membawa berita bahwa pasukan Daha mendekati ibu kota.
Maka, berangkatlah Harsawijaya bersama sebuah rombongan kecil untuk mengahadang  pasukan Daha. Tapi mengingat usia Harsawijaya yang masih muda dan kurang pengalaman, maka Krtanagara mengutus patihnya dan sisa pasukan yang ada untuk menyusul Harsawijaya.
Melihat kekosongan di ibukota kerajaan, maka pasukan kedua dari Daha keluar dari persembunyiannya dan menyerang keraton. Terjadilah pertempuran sengit yang kemudian juga menewaskan raja. Patih yang datang setelah mendengar kabar tersebut, segera kembali, juga tewas dalam pertempuran.
Harsawijaya yang berhasil mengalahkan pasukan Daha di Singhasari pun kembali ke ibukota. Ia mencoba merebut kembali kraton namun mengalami kegagalan dan melarikan diri. Pasukan Daha berusaha mengejar mereka, namun berhasil dihalau sehingga mengundurkan diri ke Singhasari. Pasukan Harsawijaya sempat mengadakan serbuan mendadak ke Singhasari dan berhasil membebaskan putri sulung dari Krtanagara. Sementara putri bungsu dibawa ke Daha.
Di kemudian hari Harsawijaya memutuskan untuk melarikan diri dari Singhasari, karena keadaaan sudah tidak memungkinkan lagi. Dalam pelariannya ini Harsawijaya dan rekan-rekannya mengembara ke hutan dekat pantai utara, hingga akhirnya tiba di pertapaan Santasmrti, kepala brahmin pada masa pemerintahan ayah Harsawijaya. Di pertapaan tersebut, mereka disambut dengan ramah. Atas saran dari Santasmrti, mereka menyeberang ke Madura untuk minta bantuan Wiraraja.
Sementara keadaan di Daha, selepas pemberontakan, Jayakatwang pun berkuasa di seluruh pulau Jawa. Para tawanan termasuk puteri bungsu Krtanagara yang dibawa ke Daha diperlakukannya seperti anak kandungnya sendiri.
Sementara di Madura, Harsawijaya sedang menunggu saat yang tepat; ia dibantu Wiraraja dalam merencanakan kembalinya. Kepada Wiraraja, dia menjanjikan akan memberi separuh kerajaannya sebagai anugerah atas bantuannya yang tak terhingga itu. Atas nasihat Wiraraja pula, Harsawijaya memutuskan untuk pergi ke Daha dan mencoba apakah Jayakatwang berbaik hati kepadanya. Kedatangan Harsawijaya ke Daha ditempatkan di Tamansari Baginda. Kehadiran Harsawijaya di Tamansari mampu membuat sang raja dan para mantri terpesona oleh penampilan dan kelakuannya yang selaras dengan kedudukannya sebagai putra mahkota.
Sementara pasukan Singhasari pulang dari ekspedisinya dan membawa kedua puteri dari Malayu. Mereka berlabuh di Canggu dan setelah mendengar apa yang terjadi, menawarkan jasa mereka kepada Harsawijaya dengan menyatakan kesediannya bertempur baginya. Esoknya diadakan pesta tahunan di Galangan. Sang Pangeran akan ke kraton untuk bersembah sujud kepada raja yang mempermaklumkan kehendaknya, agar pesta ini dirayakan dengan suatu pertandingan. Pertandingan antara para ksatria Daha akan melawan para ksatria dari Singhasari. Dalam pertandingan tersebut, ksatria dari Singhasari ternyata lebih kuat daripada rekan-rekan mereka dari Daha.
Taman Sari Bagenda terlalu sempit untuk banyak tamu. Maka raja atas nasihat sang patih memutuskan agar Harsawijaya bersama anak buahnya akan bermukim di Trik, sebidang tanah penuh hutan, di tepi sungai dan tak jauh dari Daha. Keesokan hari mereka berangkat dan segera mulai membersihkan hutan. Wirondaya memberitahu ayahnya, Wiraraja, bahwa bagaimana keadaan telah berubah. Wiraraja lalu datang dengan orang-orang Madura untuk membantu Harsawijaya.
Pemukiman baru itu dinamakan Majapahit. Nama Majapahit diambil dari buah-buah Maja yang tumbuh di lokasi tersebut pahit rasanya. Segera tempatnya diperluas dan Harsawijaya memperoleh izin untuk menetap di sana selamanya. Jayakatwang sadar akan bahaya yang mengancamnya dari sana, tetapi dia menerima nasibnya secara stoik, “karena dalam hidup ini nasib untung dan malang silih berganti dan tak ada sesuatu pun yang lestari”. Wiraraja pulang ke Madura.
Hubungan Majapahit dan Daha terjalin dengan baik untuk waktu yang cukup lama. Kemudian Harsawijaya mengambil keputusan bahwa telah tiba saatnya untuk melaksanakan rencanannya. Maka dia pun berunding dengan para sekutunya, mayoritas dari mereka setuju jika diadakan serangan terbuka. Namun pada akhirnya mereka setuju untuk mengikuti saran Rangga Lawe untuk minta nasihat pada Wiraraja terlebih dahulu.
Wiraraja memiliki rencana lain, ia akan minta sahabatnya Raja Tatar untuk membantu menyerang Daha. Sebagai umpan ditawarkan kepadanya anak Jayakatwang, Ratna Kesari. Harsawijaya setuju. Sembari menantikan kedatangan pasukan Madura serta sekutu dari Tatar, pernikahan Harsawijaya dengan Puspawati dirayakan.
Ketika mendengar bahwa raja Tatar mendarat di Canggu, Jayakatwang menganggap kewajibannya sebagai seorang ksatriya agar jangan menghindari pertempuran, biarpun dia tidak meragukan hasilnya. Menurut keputusan sang hyang Widhi saatnya telah tiba, agar kekuasaan terhadap pulau Jawa beralih dari Kadiri (Daha) ke Majapahit. Jayakatwang pun memberitahukan pada para wanita dan puteri di keraton bagaimana keadaannya, dan bahwa dia bertekad untuk gugur dalam pertempuran. Semuanya termasuk Pusparasmi, memperlihatkan rasa marahnya karena sikap Harsawijaya yang tak kenal terima kasih dan yang mengkhianati pelindungnya.
Di Majapahit, Harsawijaya tengah berbincang-bincang dengan Puspawati, yang mengusulkan agar Harsawijaya menikahi kedua putri dari Melayu juga. Pada saat perbincangan berlangsung, datanglah Patih dari Tatar. Patih ini melaporkan bahwa raja dan pasukannya berkemah di sebelah utara ladang Bobot Sari. Janji mengenai puteri Daha diteguhkan dan dicapai kata sepakat, bahwa ketiga pasukan (yaitu dari Majapahit, Madura dan Tatar) akan menuju Bobot Sari sehingga tempat itu akan didekati dari tiga sudut, dan mereka akan berjumpa di sana.
Esoknya setelah berpamitan dengan Puspawati ia menuju Bobot Sari sebagai panglima tentara Majapahit. Setelah ketiga tentara menempati posisinya masing-masing, tentara musuh pun nampak.  Jayakatwang bersama para mantri tua tidak ambil bagian dalam pertempuran yang menyusul. Walaupun bertempur dengan gagah berani namun pasukan-pasukan Daha dapat dikalahkan di tiga front. Kemudian muncullah Jayakatwang yang duduk di atas seekor gajah; ia siap menghadapi maut dalam pertandingan dengan Harsawijaya.  
Para prajurit Majapahit segan mengangkat senjata melawan sang raja, dan Harsawijaya pun bimbang ketika akhirnya berhadapan muka dengan raja yang menjadi sahabat dan pelindungnya. Kemudian sambil tetap duduk di atas gajahnya, sang raja melakukan samadhi dan tiba-tiba lenyap di angkasa. Semua yang hadir dan menyaksikan akhir hidup seorang raja yang sungguh-sungguh agung, kagum akan peristiwa yang gaib itu. Ia disusul para mantri yang bertempur sampai mati.
Atas nasihat Wiraraja, Harsawijaya minta para prajurit Tatar agar mengundurkan diri dahulu ke perkemahannya, sementara ia mengurus perabuan para ksatriya yang gugur. Selepas itu dia menuju ke Daha untuk melindungi para penghuni keputrian. Rupanya semua penghuni keputrian bunuh diri setelah mendengar berita tentang kematian sang raja, kecuali Pusparasmi yang dicegah oleh sang ratu dan Ratna Kesari. Desas-desus mengenai sang puteri yang dibawa ke Majapahit itu telah didengar raja Tatar. Sang Raja juga telah mengutus patihnya untuk menuntut apa yang dijanjikan kepadanya. Harsawijaya tetap diam dan merasa malu karena ia dituduh telah melanggar janjinya, tetapi Wiraraja menerangkan, bahwa sang puteri telah merenggut nyawanya sendiri.
Utusan Tatar kembali ke rajanya dengan berita tersebut. Tetapi kekecewaan raja Tatar berubah menjadi kemarahan, ketika desas-desus tadi ternyata benar. Ia bertekad untuk merebut sang puteri dengan kekerasan.
Sementara di Majapahit, Puspawati, dengan didampingi Dara Pětak, bersiap-siap untuk menyambut sang pemenang dengan upacara kebesaran. Ia masih harus menghibur hati Dara Jingga — yang merana karena terpisah dari ayahnya — beserta adiknya, Pusparasmi (yang masih berduka karena kehilangan kawan-kawannya, sang ratu beserta puteri Daha).
Tibalah Harsawijaya. Sebelum ia memasuki keraton, ia harus memperhatikan dulu keadaan negara serta membicarakan sejumlah tindakan yang diambil terkait perselisihan dengan raja Tatar. Harsawijaya tidak bersedia menyerahkan Pusparasmi, tunangannya sejak mereka masih tinggal di Singhasari; ia lebih suka mati mempertahankan haknya atas Pusparasmi. Pasukan-pasukan disiagakan, kemudian ia menjumpai kedua puteri dan pernikahannya dengan Pusparasmi dirayakan. Ketika bala pasukan Tatar terdengar mendekat, Harsawijaya menerangkan kepada Pusparasmi, apa yang mereka kehendaki. Ia bertanya apakah sang putri lebih suka menjadi isteri raja Tatar, tetapi usul ini ditolak sang putri dengan marah.
Dengan suara gaduh pasukan Tatar memasuki Majapahit sambil memekik, agar sang putri diserahkan. Disusul dengan pertempuran sengit, tetapi para penyerbu dikalahkan dan raja mereka tewas. Setelah jenazah-jenazah tersebut diperabukan, dikirimlah utusan-utusan kepada mpu Santasmrti di Gunung Himagiri; ia diundang untuk melakukan upacara pensucian serta menobatkan Harsawijaya menjadi raja (abiseka). Baru selang satu bulan sang brahmin tiba. Pada upacara abiseka yang dilangsungkan pada tanggal 15 bulan Karttika, raja diberi nama penobatan Krtarajasa. Santasmrti menolak untuk tetap tinggal di Majapahit tetapi mengusulkan murid kesayangan Widyajnana sebagai penggantinya.
Setelah memberikan pelajaran terakhir mengenai kewajiban seorang raja, ia berangkat. Sahabat-sahabat Harsawijaya diangkat menjadi pejabat-pejabat tinggi di kerajaan Majapahit; Rangga Lawe menjadi patih amangkubumi. Di bawah pemerintahan Krtarajasa, kerajaan bertambah sejahtera dan pulau-pulau lain pun (nusantara) —  Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, Gurun, Wandan, Tanjungpura, Dompo, Palembang dan Makassar disebut-sebut di sini — mengakuinya sebagai atasan mereka.
Kidung Harsawijaya sebagai kidung historis
P.J Zoetmulder menyebutkan jika kidung Harsawijaya termasuk dalam kidung historis. Penggolongan ini karena Kidung Harsawijaya — seperti ketiga kidung lainnya yaitu, Rangga Lawe, Sorandaka dan Sunda— bahannya diambil dari tradisi historis mengenai kerajaan Majapahit. Ruang lingkup kidung Harsawijaya adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Singhasari serta didirikannya kerajaan baru yang untuk sebagian meneruskan kerajaan sebelumnya.
Sekalipun jika ditinjau dari aspek substansial, maka akan terlihat sejumlah perbedaan yang signifikan antara Kidung ini dengan sejumlah karya sastra lain — Negarakertagama sebagai sumber utama dalam sejarah Majapahit — atau bahkan dengan sumber lain yang lebih kuat misalnya Prasasti Kudadu. Perbedaan tersebut meliputi :
1.      Silsilah / genealogi dari Harsawijaya
Di dalam Kidung Harsawijaya disebutkan jika Harsawijaya (Raden Wijaya) adalah putra dari Raja Narasingha, pewaris resmi Kerajaan Singhasari. Namun karena dia belum dewasa, maka tahta masih dipegang oleh saudara sepupu dari sang raja yaitu Krtanagara.
Penjelasan di atas tentu berbeda dengan sejumlah teks lain tentang siapakah Raden Wijaya. Negarakertagama pupuh 47 menyebut bahwa Radeh Wijaya — dalam teks tersebut disebut Dyah Wijaya — adalah putra dari Dyah Lembu Tal, cucu dari Narasinghamurti sekaligus menantu dari Krtanegara. Hal ini juga didukung oleh Piagam Kudadu. Piagam pertama yang dikeluarkannya  saat sudah menjadi raja. Prasasti ini dikeluarkan pada tahun 1294 Masehi.
2.       Jumlah putri Krtanagara
Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa raja Krtanagara hanya memiliki dua putri yaitu Pusparasmi dan Puspawati. Sementara Negarakratagama pupuh 46 menyebutkan jika Krtanegara memiliki 4 putri dengan kesemuanya kemudian dinikahi oleh Wijaya.
3.       Jumlah istri Harsawijaya
Tentang perkawinannya dengan putri Krtanegara juga terdapat perbedaan. Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa raja Krtanagara hanya memiliki dua putri yaitu Pusparasmi dan Puspawati. Mereka berdua pula yang menjadi pasangan dari Raden Wijaya. Ditambah dengan pernikahan dengan Dara Petak dan Dara Jingga, dua puteri dari Kerajaan Melayu.   
Ini sekali lagi berbeda dengan uraian dalam Nagarakertagama, yang menyebutkan bahwa Krtarajasa Jayawardhana (nama abhiseka Raden Wijaya) menikahi empat putri dari Krtanegara yaitu Tribhuwana, Mahadewi, Jayendradewi, dan Gayatri (yang digelari Rajapatni). Pemberitaan ini didukung dengan Piagam Penanggungan (1296) dan piagam yang bertarikh 1305.  Selain Keempat putri Krtanegara, itu Raden Wijaya juga menikah dengan putri Indreswari, yang kemudian melahirkan Jayanagara. Indreswari ini diidentifikasi sebagai Dara Petak. Penjelasan pernikahan ini ada di dalam Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama dan Harsawijaya. Namun tidak tertera dalam prasasti manapun. Sementara Dara Jingga tidak diambil istri oleh Raden Wijaya. Dara Jingga diperistri oleh pembesar  yang lain. Slamet Muljana mengidentifikasi jika pembesar ini bernama Adwayabrahma, seorang mahamantri dari kerajaan Singhasari. Dara Jingga di kemudian hari melahirkan seorang putra, yaitu Adityawarman.

Penulisan artikel ini hanya merupakan sebuah telaah singkat terhadap ikhtisar dari Kidung Harsawijaya (yang disarikan oleh P.J Zoetmulder dalam Kalangwan). Nampaknya  memang tidak tepat jika Kidung ini dijadikan sumber primer dari sebuah penulisan sejarah. Mungkin lebih tepat jika dijadikan sebagai sumber pembanding. Namun apapun kategorinya, Kidung Harsawijaya termasuk salah satu karya sastra yang cukup menarik dengan tema tradisi historis. Zoetmulder menyebut ada sejumlah kidung yang menggunakan tema historis sebagai substansinya. Mereka adalah Kidung Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda dan Panji Wijayakrama. Kidung-kidung tersebut dalam substansinya terkadang menyampaikan fakta yang berbeda satu sama lain. Nah, pembaca selamat membaca artikel ini ^_^.

Sumber:
Muljana, Slamet. 2009. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta : LKiS. (Cetakan IV)
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerbit Djambatan.

Comments

Popular posts from this blog

Karya Sastra Masa Majapahit

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya