Conrad Laurens Coolen, tokoh pembentuk komunitas Kristen pertama di Ngoro, Jawa Timur
Shinta Dwi Prasasti, S.Hum
Abstrak : Penyebaran agama Kristen di Jawa Timur dimulai dengan pembukaan desa baru. Salah satu tokoh yang pertama kali menyebarkan agama Kristen Protestan di Jawa Timur adalah Conrad Laurens Coolen. Coolen membuka desa Kristen pertama di Ngoro, Jawa Timur. Coolen juga menyebarkan agama Kristen dengan cara sinkretisme antara ajaran agama dengan budaya Jawa. Coolen sendiri bukan merupakan utusan resmi lembaga gereja.
Kata Kunci : Coolen, Kristen, Sinkretisme, desa
Penyebaran agama Kristen di Pulau Jawa kerap kali diasumsikan dengan kehadiran bangsa Barat. Namun, asumsi tersebut tidak tepat jika dikaitkan pada penyebarab agama Kristen di Pulau Jawa. Pada rentang tahun 1820 – 1847, Pulau Jawa adalah pulau yang tertutup bagi proses penyebaran agama Kristen. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini lebih bersifat politis karena untuk menghindari keributan yang bisa mengundang kemarahan para ulama Islam.
Pada kenyataanya, penyebaran agama Kristen di Jawa tetap berlangsung. Hal ini terbukti dengan kemunculan komunitas Kristen pertama di Jawa Timur pada tahun 1827. Proses penyebaran ini dilakukan bukan oleh lembaga Zending[1] resmi. Tokoh penyebar agama Kristen tersebut berasal dari kalangan non Zending.
Komunitas Kristen pertama di Jawa Timur
Komunitas Kristen pertama di Jawa Timur telah ada pada tahun 1827. Hal ini ditandai dengan dibukanya persil[2] Ngoro. Persil Ngoro ini dibuka oleh Conrad Laurens Coolen, ayahnya seorang Rusia, ibunya berasal dari kalangan priyayi Jawa Solo (Akkeren, 1994 : 69). Maka dalam kehidupannya banyak dipengaruhi budaya Jawa.
Hal ini membuat Coolen kerap menggunakan budaya Jawa sebagai media perantara dalam kegiatan penyebaran Kristen Protestan. Coolen memadukan budaya Jawa dengan ajaran Kristen untuk mempermudah penyampaian pada masyarakat. Lombard (2000 : 100) menyebutkan jika Coolen mengajarkan agama Kristen yang sangat sinkretis, dengan memanfaatkan tembang[3] dan dzikir untuk menyampaikan dasar – dasar Alkitab.
Pada saat pembukaan persil tersebut, Coolen memang tidak serta merta memperkenalkan Kristen, tapi menunggu membaiknya kesejahteraan penduduk Ngoro terlebih dahulu. Perkembangan Ngoro sebagai desa Kristen menjadi titik awal dalam penyebaran Kristen di Jawa Timur. Masyarakat Jawa pun mulai mengenal Kristen tanpa melalui penjelasan dari pendeta Belanda. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik karena penyebaran agama Kristen dilakukan oleh kalangan non-gereja.
Coolen memang bukan berasal dari lembaga Zending manapun. Coolen adalah seorang mantan tentara yang selama masa dinasnya bertempat tinggal di Surabaya. Dia adalah seorang mantan tentara Belanda divisi artileri, pada masa pemerintahan Daendels (Guillot, 1985 : 31).
Ketertarikannya pada masalah keagamaan memang tidak diketahui dengan pasti. Ada kemungkinan ketertarikannya muncul saat dia bertempat tinggal di Surabaya. Di Surabaya kemungkinan mulai terjalin interaksi antara Coolen dengan Emde. Guillot (1985 : 31) menjelaskan kemungkinan pada saat bertempat tinggal di Surabaya, dia berinteraksi dengan kelompok Emde. Interaksi ini tampaknya memunculkan ketertarikannya pada masalah keagamaan.
Dia kemudian keluar dari dinas ketentaraan dan menjadi pengawas hutan di daerah Mojoagung[4]. Pada tahun 1827, Coolen memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pengawas hutan. Coolen selanjutnya memohon izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membuka hutan Ngoro menjadi sebuah persil. Wolterbeek (1939 : 20) menyebutkan ”Nalika taoen 1827 toewan Coolen njoewoen kendel saking pandamalanipoen zinder blandong, toewin pandjenenganipoen njoewoen idzin moegi kelilana ambabad wono ing Ngoro”. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 3 Juli 1827 (Nortier, 1981 : 6).
Pada saat pembukaan, Coolen menerapkan hal yang berbeda pada persil Ngoro. Coolen tidak menaati anjuran pemerintah Belanda tentang komoditi yang seharusnya ditanam di persil tersebut. Menurut Guillot (1985 : 32) tanaman yang harus ditanam adalah tanaman ekspor yaitu nila, tebu, kopi dan tanaman jenis ekspor lainnya. Coolen justru menanam padi seperti halnya orang Jawa. Oleh sebab itu, Guillot (1985 : 31) menggolongkan Coolen sebagai kiai[5] Jawa, karena cara yang digunakan dalam menyebarkan Kristen lebih mirip dengan kiai Jawa ketimbang zendeling[6] Belanda.
Desa Ngoro adalah sebuah persil, namun pada kenyataannya, komoditas yang dikembangkan oleh penduduk desa tersebut adalah padi. Komoditas ini menjadikan desa ini bukan seperti halnya persil pada umumnya, tetapi merupakan sebuah desa Jawa. Pembudidayaan padi juga merupakan salah satu daya tarik kehadiran para petani Jawa untuk bermukim di desa Ngoro. Bagi para pendatang, desa baru ini memiliki sumber penghidupan yang lebih baik dari tempat mereka sebelumnya. Guillot (1985 : 32) menyebutkan mereka berasal dari daerah pinggiran Sungai Brantas yang padat penduduk, dari utara, juga dari Jawa Tengah dan Madura.
Perkembangan Desa Ngoro sebagai desa Kristen
Pada perkembangan selanjutnya[7], Coolen kemudian merasa terpanggil untuk mengajarkan Kristen pada penduduk desa Ngoro. Pada proses pengajarannya tersebut Coolen lebih banyak menggunakan kebudayaan Jawa sebagai perantara. Coolen menggunakan media wayang dan legenda setempat. Guillot (1985 : 33) menjelaskan bahwa Coolen mengajarkan Kristen dengan mengambil contoh-contoh yang terdapat dalam wayang atau legenda setempat.
Pementasan wayang dilakukan secara rutin pada hari Minggu. Cerita wayang yang dipentaskan diambil dari cerita-cerita dalam kitab suci. Dalang dari pentas wayang itu adalah Coolen sendiri. Wolterbeek (1939 : 25) menjelaskan :
”Saben dinten Akad pandjenenganipoen ngandaraken tjarijosipoen babad Kitab Soetji sarana migoenakaken ringgit peonika waoe. Toewan Coolen ingkang dados dalangipoen, dene ingkang kangge lampahan inggih poenika satoenggaling tjarijos saking Kitab Soetji”
Coolen juga menggunakan sarana lain dalam menyebarkan ajaran agama Kristen. Coolen menggunakan media tembang. Tembang ini selalu dinyanyikan saat Coolen sedang menanami sawah. Berikut adalah tembang karya Coolen :
O. berg Smeroe, die de hoogste zijt van Java’s land,
Aan U zij onze zang gewijd
Zegen het werk onzer hand
Zegen de ploeg, die openbreekt de aard,
En maak de aarde het zaaien waard
O, zegen de ploeg, die de voren snijdt, ]
En de disselboom
De klinkende zweepslag op het vee
De levenwekkende stroom
De pas opgeworpen ruggen
Glimmen als een welriekende zalf
O, zegen de egge, die gelijk maakt het land,
Waaraan een welgevallen heeft
Dewi Sri, de godin der rijst, die rijkdom geeft.
En bovenal vragen wij zegen en kracht
Van Jezus, die de grootste is in macht [8]
Terjemahan tembang ini dalam bahasa Indonesia[9] adalah sebagai berikut :
O, Gunung Semeru, Kau tertinggi di tanah Jawa, kepada engkau ditujukan lagu pujaan ini.
Berkatilah hasil karya tangan kami ini. Berkatilah mata bajak yang menggemburkan tanah yang patut disebari benih dan menyebarlah benih.
Berkatilah penghalus tanah ini. Di tanah inilah Dewi Sri akan bersuka hati, dewi padi yang memberi kami kemakmuran.
Dan di atas segalanya, kami mendambakan kasih dan kekuatan Yesus, Yang Mahakuasa.
Tembang di atas menyebutkan nama yang erat kaitannya dengan tradisi menanam padi di Jawa. Nama tersebut adalah Dewi Sri, dewi yang dikenal sebagi dewi padi. Dalam masyarakat Jawa, nama ini senantiasa dikaitkan dengan pengolahan sawah. Coolen menunjukkan pujian kepada Gunung Semeru. Hal ini juga sesuai dengan kultur masyarakat Jawa, yang menganggap gunung sebagai tempat suci. Keberadaan tembang ini menunjukkan bahwa Coolen telah menguasai budaya Jawa dengan baik sehingga mampu menunjang proses penyebaran agama Kristen di Jawa Timur.
Proses penyebaran agama juga didukung dengan kemampuan berbicara Coolen dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu, Belanda, dan Jawa. Coolen menggunakan ketiga bahasa yang dikuasainya ― khususnya bahasa Jawa ― untuk menerangkan isi kitab Injil kepada penduduk desa Ngoro. Sir (1967 : 13) menegaskan Coolen sanggup menguraikan isi wahyu Allah dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu, bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Cara ini membuat penduduk Ngoro lebih mudah memahami isi kitab Injil.
Dalam rangka menunjang proses pengajaran agama Kristen di Ngoro, Coolen menetapkan sejumlah peraturan untuk penduduk desa. Peraturan ini memiliki kesesuaian dengan mata pencaharian penduduk desa, yaitu petani. Dalam satu minggu Coolen memilih hari Minggu sebagai hari untuk beristirahat sekaligus sebagai hari untuk belajar agama. Peraturan di desa Ngoro itu harus ditaati oleh setiap penghuni desa Ngoro. Sir (1967 : 14) menjelaskan :
Selaku lurah desa, Pak Coolen membuat peraturan jang harus ditaati oleh setiap penghuni desa jakni :
1. Selama 6 hari bekerdja, pada hari Minggu istirahat
2. Tiap-tiap Minggu pagi berkumpul di pendopo rumahnya mengikuti peladjaran agama, jang dibawakannya dengan pertundjukan wajang kulit
3. Tiap-tiap Minggu petang berkumpul lagi beladjar menjanji dan menghafal kesepuluh Perintah dan Doa Bapa-Kami
4. Dalam hari-hari kerdja penghuni desanja diberi peladjaran bertani, tata tertib rumah tangga dan lain-lain jang berguna bagi mereka.
Desa Ngoro adalah desa Kristen pertama di Jawa Timur, tetapi penduduk desanya tidak semuanya beragama Kristen. Coolen tidak pernah memaksa para penduduk desa tersebut beragama Kristen. Dia juga mengijinkan penduduk yang beragama Islam bertempat tinggal di sana. Bahkan masalah keagamaan orang Islam pun menjadi bagian dari kebijakannya. Wolterbeek (1939 : 26) menyebutkan ”Malah pandjenenganipoen inggih maringi toewin ngopeni modin agami Islam, kangge para tijang Islam ingkang sami manggen wonten ing perceel Ngoro”.
Pada pengajaran agama Kristen oleh Coolen di Ngoro, memang tidak pernah mengajarkan pembaptisan. Bagi Coolen pembaptisan bisa menjadikan orang Jawa melupakan kebudayaan mereka. Menurut Nortier (1981 : 14) Coolen khawatir dengan baptisan, masyarakat Jawa akan bertingkah laku seperti orang Belanda dan akan kehilangan watak Jawanya. Maka setelah mendengar adanya penduduk Ngoro yang telah dibaptis oleh Emde di Surabaya, Coolen pun mengusir mereka.
Orang Kristen Jawa yang telah dibaptis dan terusir dari tempat tinggalnya ini kemudian ditolong oleh Emde[10]. Mereka kemudian ditempatkan di Sidokare, Sidoarjo. Di Sidokare terdapat tanah perkebunan milik Gunsch, sahabat Emde. Wolterbeek (1939 : 35) menjelaskan ”Lantaran pitoeloenganipoen toewan Emde, Kjai Jakoboes, Paulus Tosari lan kantjanipoen sami dipoenlilani manggen wonten tanahipoen toewan Gunsch poenika waoe”.
Di Sidokare, kehidupan mereka mulai mengalami perubahan. Orang Kristen Jawa yang terbiasa menjadi petani kemudian harus berubah menjadi pedagang. Mereka juga harus belajar menekuni pekerjaan selain sebagai petani dan pedagang, yaitu menjadi tukang. Wolterbeek (1939 : 35) menyebutkan ”Toewan Gunsch ngatag-atag dateng para tijang Kristen Djawi soepados sami bikak toko wonten ing kita Sidoardjo oetawi sinaoe dados toekang”.
Perubahan mata pencaharian ini ternyata tidak sepenuhnya menuai keberhasilan. Banyak di antara orang Kristen Jawa yang kemudian tidak memperoleh keuntungan yang maksimal. Pada saat itu mulai terkuak juga kenyataan jika Gunsch tidak sepenuhnya membantu dengan sukarela, melainkan dengan keinginan untuk mendapat keuntungan. Nortier (1981 : 28) menjelaskan bahwa karena tidak ada kemajuan yang diperoleh para pedagang, maka jemaat di Sidokare mulai mengalami kemunduran.
Orang Kristen Jawa yang bertempat tinggal di Sidokare kemudian menyadari bahwa sekalipun telah beragama Kristen, mereka tidak harus berganti profesi. Dalam benak mereka, seharusnya pekerjaan mereka adalah bercocok tanam, bukan berdagang. Oleh karena itu, mereka mulai meninggalkan Sidokare, untuk mencari tempat tingal baru yang sesuai dengan agama dan mata pencahariannya. Mereka kemudian memilih Mojowarno, sebab Coolen di Ngoro tak mau lagi menerima orang Kristen Jawa yang telah dibaptis.
Desa Kristen Mojowarno[11] yang berdiri pada tahun 1846 adalah desa Kristen yang didirikan oleh Kiai Abisai Ditotaruno (Abisai Ditotruno)[12]. Abisai memutuskan membuka desa baru, setelah merasa tidak nyaman hidup di kota. Desa Mojowarno adalah desa Kristen yang mengembangkan basis perekonomiannya dengan pertanian, seperti halnya desa Ngoro. Berdirinya desa ini menarik perhatian orang Jawa Kristen yang ada di Sidokare, salah satunya adalah Paulus Tosari[13]. Tosari kemudian juga berpindah ke Mojowarno.
Di desa ini tidak ada seorang muslim yang bertempat tinggal. Berbeda dengan Ngoro yang masih mengizinkan orang Muslim bertempat tinggal. Maka Mojowarno kemudian menjadi desa Kristen pertama sekaligus pusat pengembangan Kristen Jawa di Jawa Timur.
Terbentuknya desa Kristen di Mojowarno kemudian diikuti dengan terbentuknya desa Kristen di beberapa tempat. Desa-desa Kristen ini antara lain desa Kristen Swaru (1857), Peniwen (1880), Wonorejo (1884) dan desa-desa lainnya. Desa-desa Kristen ini memiliki kesamaan, yaitu penduduknya adalah masyarakat petani.
Para penyebar agama Kristen bumiputera selain berasal dari masyarakat petani juga memiliki pemahaman terhadap sistem kepercayaan tradisional. Coolen mengajarkan agama Kristen dengan memadukan antara ajaran agama Kristen dengan kepercayaan tradisional. Dia kerapkali menggunakan kebudayaan daerah yang sudah disisipi unsur Kristen untuk mempermudah pemahaman masyarakat Jawa terhadap Kristen. Guillot (1985 : 40) menegaskan bahwa Coolen memanfaatkan kepercayaan Jawa yang dibelokkan ke agama Kristen.
Desa Ngoro sebagai desa Kristen dalam perkembangan selanjutnya mulai mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi karena pusat penyebaran agama Kristen telah berpindah ke Mojowarno. Hal ini juga berpengaruh terhadap posisi Coolen. Guillot (1985 : 38) menyebutkan bahwa sejak tahun 1850, Coolen tidak lagi menjadi tokoh sentral dalam penyebaran Kristen di kalangan orang Jawa. Pusatnya telah berpindah ke Mojowano.
Desa Ngoro kemudian tidak lagi menjadi persil. Pemerintah Belanda menolak memperpanjang kontrak Ngoro sebagai persil. Guillot (1985 : 37) menyebutkan bahwa pada tahun 1854 Ngoro telah kembali menjadi tanah milik pemerintah. Perubahan ini membawa konsekuensi bagi para penduduk Ngoro. Mereka tidak lagi dilihat sebagai penggarap lahan pertanian, tetapi hanya sebagai penduduk desa biasa. Sembilan belas tahun setelah Ngoro menjadi desa biasa, Coolen meninggal dunia. Guillot (1985 : 38) menyebutkan jika Coolen meninggal pada tahun 1873.
Kesimpulan
Kemunculan komunitas Kristen di Jawa Timur bukan disebabkan proses pekabaran Injil oleh para zendeling Belanda. Komunitas ini muncul karena peranan dari kalangan non gereja. Tokoh yang pertama memperkenalkan Kristen di Jawa Timur adalah Conrad Laurens Coolen. Coolen memperkenalkan Kristen dengan cara sinkretis antara ajaran Kristen dan budaya Jawa. Cara ini memiliki hasil yang bagus, karena setelah kemunculan Ngoro sebagai desa Kristen pertama, kemudian diikuti dengan kemunculan desa – desa Kristen yang lain di Jawa Timur.
Daftar Rujukan
Akkeren, P. v. 1969. Dewi Sri dan Kristus : Sebuah kajian tentang gereja di Jawa Timur. Terjemahan oleh B.A. Abednego. 1994. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Guillot, C. 1981. Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa. Terjemahan oleh Asvi Warman Adam. 1985. Jakarta : Grafiti Press
Lombard, Denys. 1990. Nusa Jawa Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu : Batas – batas Pembaratan. Terjemahan oleh Winarsih Partaningrat Arifin dkk. 2000. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Nortier .1939. Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab. Suatu Studi mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan , ±1835-1935.Terjemahan oleh Th. Van Den End. 1981. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Sir, M. 1967. Kiayi Paulus Tosari Pelopor Geredja Kristen Djawi di Djawa Timur. Djakarta : BPK
Wojowasito, S. 2001. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Wolterbeek, J.D. 1939. Babad Zending ing Tanah Djawi. Purwokerto : de Boer
[1] Wojowasito (2001) menjelaskan bahwa Zending adalah pekerjaan atau tugas orang-orang yang menyebarkan agama di luar negeri (Belanda).
[2] Guillot ( 1985 : 32-33) menjelaskan bahwa persil adalah tanah perkebunan yang dibuka atas izin pemerintah Hindia Belanda dan jenis tanamannya diatur oleh Belanda. Sementara Wolterbeek (1939 : 165) menyebutkan bahwa di dalam persil ini ada kewajiban membayar pajak kepada pemilik persil tersebut. Pada jemaat yang berstatus persil, pemiliknya biasanya juga merangkap pendeta, karena pemilik persilnya adalah NZG.
[3] Lombard (2000 : 268) menjelaskan tembang adalah sejenis sajak Jawa, sedangkan dikir (bhs. Arab : dzikir) merupakan latihan pengulangan ayat – ayat suci oleh kaum Tarekat Islam.
[4] Guillot (1985 : 31) menyebutkan daerah ini terletak di Jombang dan Mojokerto.
[5] Penyebutan Kiai di Jawa tidak hanya untuk para pemimpin agama Islam saja. Menurut Guillot (1985) sebutan kiai juga diberikan pada para pemimpin Kristen Jawa. Kata Kiai merupakan kata baku dalam bahasa Indonesia, maka pada penulisannya tidak dicetak miring.
[6] Wojowasito (2001) menjelaskan jika arti zendeling adalah orang yang menyebarkan agama di lain negeri.
[7] Peneliti tidak menemukan sumber yang menyebutkan tahun dimulainya pengajaran Injil di desa Ngoro.
[10] Emde (Johannes Emde) adalah penyebar agama Kristen Protestan yang bertempat tinggal di Surabaya.
[11] Wolterbeek (1939 : 36) menyebutkan bahwa jika desa ini terletak 10 km sebelah utara dari Ngoro dan pada masa itu masih berupa hutan. Hutan ini disebut hutan Dagangan.
[12] Guillot (1985 : 36) menjelaskan jika Ditotruno adalah salah satu warga desa Ngoro. Ditotruno termasuk kelompok warga Ngoro pertama (selain Singotruno, Kunto, Tosari dan Ditotruno) yang mendapat pembaptisan pada tahun 1844 dari kelompok Emde di Surabaya. Pembaptisan ini membuat Ditotruno diusir dari Ngoro.
[13] Guillot (1985 : 36) menjelaskan bahwa Tosari juga termasuk kelompok pertama dari Ngoro ― selain Abisai ― yang mendapat pembaptisan dari Emde di Surabaya,
Artikel ini sudah dimuat di Jurnal Sejarah Mahasiswa di Univ Negeri Malang (Verstehen)
minta izin copas untuk blog pribadi
ReplyDeletehttp://thefihgters.blogspot.com/
monggo mas raymond izaak. semoga tulisan kecil itu bermanfaat >.<
Delete