Pahlawan dan Pemberontak, sebuah pilihan perspektif

Sejarah Indonesia sejauh ini senantiasa didominasi satu perspektif. Perspektif pemerintah itulah yang digunakan. Maka yang muncul adalah satu kata benar atau salah. Jika tidak benar maka salah dan sebaliknya. Sejarah tersebut tidak pernah memperhatikan sisi manusianya. Sejarah (saat ini)  senantiasa memberikan penghakiman tanpa pernah peduli pada sisi manusiawinya.

Manusia memiliki kodrat untuk tidak sempurna, kecuali sang Nabi, yang memang dijaga dari dosa. Mereka memiliki alasan dalam berbuat segala sesuatu. Dan perbuatan tersebut memiliki intepretasi  yang bermacam – macam.

Realita di lapangan menunjukkan jika pahlawan juga bukanlah figur yang sempurna. Banyak di antara mereka yang berasal dari lingkungan yang tidak sepenuhnya sempurna. Artinya tidak semua dari mereka memiliki background yang benar – benar baik. Tengoklah dari daerah perkebunan di kawasan Jawa Tengah. Para pahlawan atau orang – orang yang menggerakkan revolusi adalah para grayak (jagoan dari perkebunan), lenggaong dan jawara (di daerah Banten).

Begitu juga sebaliknya. Banyak pahlawan yang juga di kemudian hari memutuskan untuk menjadi “pemberontak”. Cap pemberontak diberikan karena mereka dianggap melakukan sesuatu yang merugikan negara. Padahal dalam peristiwa tersebut sang tokoh menganggap dirinya justru telah melakukan perbuatan yang akan menguntungkan negara. Atau bahkan mereka justru membela kepentingan rakyat. Namun itu semua adalah perspektif pibadi mereka. Contohnya adalah figur Kahar Muzakkar dan Sjafruddin Prawiranegara.

Dua figur ini dikenal sebagai orang yang berjuang demi kemerdekaan bangsa, pada awal – awal terbentuknya bangsa Indonesia. Kemudian pada satu tahap selanjutnya mereka memiliki kebijakan berbeda. Sjafruddin Prawiranegara dikenal sebagai pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada saat agresi militer Belanda II. Kemudian pak Sjaf “dianggap” ikut serta dalam pemberontakan PRRI / Permesta. PRRI / Permesta bagi perspektif pemerintah Orde Baru dianggap sebagai pemberontak. Sementara bagi kelompok PRRI / Permesta mereka hanya melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah pusat yang cenderung pada komunisme dan ketidakadilan pada daerah.



Kahar Muzakkar adalah seorang bangsawan Makassar, yang telah lama bergabung dengan TNI. Kahar dikenal sebagai patriotis sejati pada masa itu. Wilayah tempurnya juga berada di Pulau Jawa. Nama Kahar Muzakkar mulai populer saat dia mulai menentang RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi). Program RERA adalah program kabinet Hatta untuk mengurangi beban negara terhadap kewajiban menggaji militer pada masa itu. Program ini bertujuan untuk merekrut tentara profesional. Tentara haruslah memiliki postur tubuh tertentu, kondisi fisik dan pengetahuan yang memadai. Bukan sekedar modal nekat seperti saat revolusi fisik.



Dalam artikel Dr. Mukhlis Paeni, yang berjudul “Badan Perjuangan Mobilisasi dan Rasionalisasi Tentara di Sulawesi Selatan, hal itulah yang membuat Kahar menentang kebijakan RERA. Bagi Kahar,  syarat merekrut tentara itu bukan sekedar kemampuan fisik, namun pengalaman dan semangat harus disertakan. Kahar memahami dengan syarat yang berat tersebut, tidak satu pun dari anak buahnya di Makassar , yang bisa diterima sebagai tentara. Karena pada masa itu tingkat pendidikan rakyat Makassar yang tergolong rendah. Dalam bahasa Makassar, Kahar sebagai pemimpin  hanya membela anak buahnya. Atau lazim disebut sirri passe. Pada faktanya, ada jangka waktu yang lama bagi Kahar untuk menyatakan menentang RI atau bergabung dengan DI / TII. Sekitar 15 tahun.

Fenomena ini menunjukkan jika pahlawan pun memiliki sisi lain dalam hidupnya, yang bertentangan dengan “kebenaran umum”. Dan problem terbesar adalah ketika masyarakat Indonesia  hanya memakai perspektif tunggal, yaitu, jika tidak benar maka salah. Tidak ada wilayah abu – abu. Perspektif ini belum bisa memberikan warna dalam sejarah kita. Karena sisi kemanusiaannya ditanggalkan. Sehingga terkadang mencaci orang tanpa pernah melihat sisi baiknya. Kita bisa menjadi sangat membenci seseorang, tanpa pernah mengingat jasa – jasa baiknya. Peribahasa menyebutnya sebagai Nila setitik rusak susu sebelanga.

Sejarah muncul sebagai upaya untuk memberikan nilai yang bijak. Bukan sekedar penghakiman semata. Maka jangan memandang sejarah dari perspektif tunggal. Karena dari perspektif tersebut tidak akan membuat orang tertarik untuk belajar sejarah.

JAS MERAH

Diolah dari : 
Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto " Gagalnya Historiografi Indonesia"
Mukhlis Paeni " Badan Perjuangan, Mobilisasi dan Rasionalisasi Tentara di Sulawesi Selatan"

Comments

Popular posts from this blog

Karya Sastra Masa Majapahit

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya