Sekali lagi tentang BLT

        BLT (Bantuan Langsung Tunai) adalah akronim yang kerap kita dengar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Program ini sempat berlangsung pada tahun 2004. Program ini bagi pemerintah dijadikan sebagai sarana untuk membagi subsidi bagi rakyat yang tidak mampu. Secara tidak langsung, BLT diharapkan mampu memutus rantai kemiskinan.

        Namun harapan tinggal harapan, ketika penerapan dari program ini tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Nah, saya mengkhususkan pembahasan pada kebijakan BLT di kawasan Indonesia Timur. Sebuah tulisan di harian Kompas, sempat memplesetkan BLT untuk kawasan ini menjadi Bantuan Langsung Tuak, mengapa??? Karena penduduk miskin yang menerimanya, biasanya langsung memakainya untuk membeli minuman keras. Lantas digunakan untuk berpesta sepanjang hari itu.

Sesuatu yang ironis bukan????!!!!!

        Entah kenapa para pemangku pemerintahan masih saja enggan mengakui bahwa, bangsa kita ini adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai latar belakang budaya yang ada. Kemajemukan ini seharusnya disikapi dengan bijaksana, bukan kebijakan yang sentralis macam BLT. Pemerintah kita nampaknya masih enggan menggunakan pendekatan budaya dan sosial, dalam meluncurkan sebuah kebijakan. Memang pendekatan sosial dan budaya membutuhkan waktu relatif lebih lama. Karena pendekatan model ini lebih memanusiakan manusia. Mereka mencoba menghadirkan manusia sesuai dengan kultur adat dan budayanya.

        Masyarakat Indonesia Timur memang memiliki keunikan dalam menilai pendapatan. Dalam benak mereka, uang atau rezeki yang mereka dapat di hari ini ya harus habis hari ini pula. Untuk besok, pasti ada lagi. Maka BLT yang hadir dirapel, dulu sekitar 3 bulan, tentunya harus habis digunakan dalam tempo hari itu pula. Tradisi menabung bukanlah sesuatu yang populer di kawasan ini. Nah, untuk melakukan suatu perubahan dibutuhkan tahapan yang tidak singkat. Karena ini menyangkut habitual di lingkungan tersebut.  Adanya BLT, tentunya akan semakin “memiskinkan” masyarakat kawasan ini.

        Wahai, pemangku kekuasaan, jangan kesampingkan pendekatan sosial budaya, karena mereka yang menjadi obyek kebijakan adalah manusia, yang memiliki cipta, rasa dan karsa...bukan sekedar nafsu saja.  Pendekatan sosial akan lebih memanusiakan mereka daripada kebijakan sentralistis, yang hanya menguntungkan segolongan kecil saja....

Comments

Popular posts from this blog

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya

Telaah singkat Kidung Harsawijaya