Memeling dan Keruntuhan Singhasari


             Memeling memang bukan nama yang populer dalam kajian sejarah bangsa Indonesia. Mengapa? Karena Memeling hanya nama dusun kecil. Dia bukan tempat kelahiran atau tempat yang berhubungan dengan tokoh / pahlawan. Seperti halnya lazim dalam kajian sejarah bangsa ini, yang suka pada sejarah orang besar.

            Namun nama Memeling (mungkin) perlu mendapat porsi yang cukup penting mengingat letak yang cukup dekat dengan ibukota kerajaan Singhasari era Raja Kertanegara. Memeling  dalam kitab sastra kuno Pararaton disebut berada di sebelah utara kutaraja Singhasari. Desa ini menurut sejumlah peneliti adalah sama dengan dusun Meling, yang sekarang terletak di desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.  Dengan identifikasi kesamaan tersebut, maka diyakini jika ibukota Singhasari era Kertanegara berada di daerah Kecamatan Singosari (sekarang). Tepatnya di sebelah timur situs Candi Singosari. Hal ini dikuatkan dengan dengan adanya fakta bahwa masyarakat sekitar dulunya kerap menyebut tanah di depan / sebelah barat arca Dwarapala, sebagai tanah alun – alun.

           Lantas apa hubungan antara Meling dengan Keruntuhan Singhasari?
           Nama Meling pertama kali muncul pada teks kitab Pararaton, sebuah kitab yang disusun pada tahun 1600an Masehi. Kitab Pararaton lazim disebut Katuturanira Ken Angrok. Kutipan yang menyebut nama daerah tersebut adalah :
Sanjata Daha kang amarga lor mandeg ing Memeling.
Dalam terjemahan J.Padmapuspita (1966 : 71), kutipan tersebut diterjemahkan menjadi “Tentara Daha yang melalui utara itu berhenti di Memeling”.

         Tentara Daha di sini maksudnya adalah tentara kerajaan Daha. Mereka menyerang kerajaan Singhasari untuk merebut kekuasaan dan mengembalikan kejayaan Daha, yang sempat hilang setelah dikalahkan oleh Ken Angrok (Rajasa Amurwabhumi), pendiri kerajaan Singhasari. Serangan ini terjadi pada tahun 1292 M.

         Serangan ini terurai dengan cukup jelas pada kitab Pararaton. Sementara kitab lain yaitu Negarakertagama justru tidak mencantukan sedetail itu. Padahal Pararaton dan Negarakertagama disusun pada masa yang berbeda. Negarakertagama disusun lebih dulu, yaitu pada tahun 1365 Masehi. Sementara Pararaton pada tahun 1613 Masehi.

         Pada saat menyerang ibukota kerajaan, tentara Daha mengambil melakukannya dari 2 arah yang berbeda. Yaitu dari utara dan selatan. Nah, yang dari utara ini fungsinya adalah pengecoh atau pengalih perhatian. Tentara Daha yang terkuat justru menyerang dari arah lain, yaitu arah selatan. Dalam teks terjemahan Pararaton disebutkan
“Kemudian turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari”.
Sungai Aksa diidentifikasi sebagai sungai Lekso, Blitar (sekarang). Sementara Sungai Lawor sama dengan sungai Lahor, tepatnya bendungan lahor – Sutami desa Karangkates. Pasukan ini merupakan kekuatan penuh dari Daha yang dipimpin oleh Patih Kerajaan Daha, Kebo Mundarang.

         Berhentinya tentara Daha di Memeling inilah yang kemudian dilaporkan pada Kertanegara. Mulanya Kertanegara tidak percaya pada laporan itu. Sang Prabu baru percaya setelah melihat sejumlah pasukan yang terluka dibawa ke ibukota. Maka Kertanegara pun memerintahkan tentaranya untuk melawan dan menyerang balik pasukan Daha di Memeling. Pasukan ini antara lain dipimpin oleh menantunya Raden Wijaya dan sejumlah pejabat lainnya. Saat mereka berangkat ke utara, pasukan Daha yang berasal dari sisi selatan pun segera menerobos ibukota dan mereka berhasil membunuh Kertanegara dan menaklukkan Singhasari.

         Pada teks – teks selanjutnya, nama Memeling tidak lagi disebut – sebut. Bahkan pada saat Hayam Wuruk singgah ke ibukota Singhasari (dalam kunjungan ke Lamajang / Lumajang), daerah ini tidak disebut oleh Prapanca.

        Memeling atau yang sekarang disebut Meling, saat ini hanya menjadi sebuah dusun kecil di Kecamatan Lawang. Tetapi secara  kewilayahan, dusun ini masih menempati posisi yang sama dengan era Singhasari, yaitu termasuk “pintu masuk” Kabupaten Malang sebelah utara. Masyarakat dewasa ini mengenal daerah ini dengan peternakan Tawon yang ada di tepi jalan raya. Kemudian juga ada kompleks bangunan Indis, yang menjadi markas tentara. Namun kompleks ini sebagian sudah hancur. Namun setidaknya nama Meling pernah tercatat dalam sejarah, meski hanya tempat singgah sepasukan kecil dari kerajaan Daha.


*dirangkai dari berbagai sumber

Comments

Popular posts from this blog

Karya Sastra Masa Majapahit

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya