Karya Sastra masa Kadiri


           Postingan kali ini kembali membahas tentang Karya Sastra,hanya saja mengambil masa sebelum Majapahit yaitu  masa kerajaan Kadiri. Dalam kajian sejarah Indonesia, Kadiri merupakan kerajaan yang berpusat di Jawa Timur (sekarang). Kemunculan kerajaan ini bermula dari pembagian kerajaan Kahuripan menjadi dua. Pembagian kerajaan ini sendiri merupakan bentuk solusi yang dibuat oleh Airlangga agar tidak terjadi perebutan tahta oleh kedua putranya.
       
Kahuripan pun dibagi menjadi dua yaitu Janggala (Singhasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) dengan ibukotanya Daha. Pada tahun 1042 sampai 1222, Kerajaan Kadiri mampu menunjukkan eksistensinya. Salah satunya adalah dengan menghasilkan karya sastra dalam bentuk kakawin. Bahkan Soekmono menyebutkan jika masa kejayaan seni satra Jawa Kuno berlangsung di dalam Jaman Kadiri. Hasilnya terutama berupa kakawin. Hal yang sama juga disampaikan Sedyawati  dalam Tanudirdjo (2012 : 198) bahwa keunggulan masa Kadiri dalam pencapaian seni sastranya sangat mencolok, seperti dapat dilihat dari banyaknya karya kakawin indah yang dibuat dalam kurun waktu tersebut.
            Kakawin tersebut di antaranya adalah :
1)    Arjunawiwaha, (karya Mpu Kanwa)
Kakawin berisi riwayat Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan senjata guna keperluan perang melawan Kurawa kelak. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksasa Niwatakawaca yang menyerang kahyangan. Maka sebagai hadiah maka Arjuna diperkenankan menikmati hidup di Indraloka beberapa lama.
2)    Krsnayana (karya Mpu Triguna)
Kakawin ini berisi riwayat Krsna mulai saat kecil hingga ia dewasa. Krsna pada masa kecil dikenal sebagai anak yang nakal sekali. Tetapi, Krsna tetap dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia kawin dengan Rukmini dengan jalan menculiknya.
3)    Sumanasantaka (Karya Mpu Monaguna)
Kakawin ini menceritakan tentang bidadari Harini yang dikutuk bhagawan Trnawindu dan menjelma menjadi seorang puteri. Sang puteri kemudian kawin dengan seorang raja dan beranak Dacaratha. Setelah masa kutukannya berakhir dia kembali lagi ke kahyangan, dan tak lama kemudian suaminya menyusul.
4)    Smaradahana (Karya Mpu Dharmaja)
Kakawin ini adalah persembahan Mpu Dharmaja kepada raja Kamecwara yang dianggap menjadi titisan dewa Kama. Inti cerita dari kakawin ini adalah lenyapnya Kama dan Rati dari kahyangan, karena habis terbakar oleh sinar api yang keluar dari mata ketiga dewa Ciwa, dan kemudian mengembara di atas dunia menjadi penggoda manusia.
5)    Bharatayuddha (Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh)
Karya ini diselesaikan pada tahun 1157 M. Kakawin ini sesuai dengan judulnya menceritakan peperangan selama 18 hari antara para Pandawa dan para Korawa. Kakawin ini merupakan gubahan dari Mahabharata.
6)    Hariwangca (Karya Mpu Panuluh)
Kakawin yang menggambarkan hubungan antara raja dan pendeta dengan membuat analogi bahwa sang raja adalah titisan Wisnu sedangkan sang pujangga, yang tentunya adalah pendeta istana, disebutnya sebagai penjelmaan (Resi) Agastya.
7)    Gatotkacacraya (Karya Mpu Panuluh)
Kakawin menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu serta Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantuan Gatotkaca. Dalam kitab ini pula, untuk pertama kalinya muncul tokoh – tokoh punakawan Jurudyah, Prasanta dan Punta. Para punakawan ini menjadi pengiring dari Abimanyu.
8)    Writasancaya (Karya Mpu Tanakung)
Kitab ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan untuk menyelami tembang Jawa kuno (kakawin). Isinya 94 macam bentuk kakawin yang digubah dalam bentuk cerita. Cerita ini mengkisahkan perjalanan sepasang burung belibis dalam usaha mereka menolong seorang puteri yang kehilangan kekasihnya. Karena peranan utama dipegang oleh burung belibis yang menjadi utusan, maka kitab ini diberi nama juga Cakrawakaduta.
9)    Lubdhaka (Karya Mpu Tanakung)
Lubdhaka adalah seorang pemburu, yang tidak dengan sengaja melakukan pemujaan yang sangat istimewa terhadap Ciwa. Maka meskipun roh seorang pemburu harus masuk neraka karena pekerjaannya hanyalah membunuh sesama makhluk saja, roh Lubdhaka itu diangkat oleh Ciwa ke sorga.
10)     Bhomantaka

            Menurut Sedyawati dalam Tanudirdjo (2012 : 198) sejumlah hasil karya sastra masa itu bertahan dan masih dapat dibaca hingga sekarang melalui berbagai naskah, berkat tradisi penyusunan dan penyalinan naskah di Jawa dan Bali, yang bahkan masih hidup hingga kini di Bali. Selera untuk menyalin karya – karya sastra itu tentunya dipacu oleh keunggulan nilai keindahan yang ada dalam karya – karya tersebut.

Sumber :
1.       Soekmono. 2002. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. (Cetakan ke 17).
2.       Daud Aris Tanudirdjo, et al. 2012 Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 2 Kerajaan Hindu Budha. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. 

Comments

Popular posts from this blog

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya

Telaah singkat Kidung Harsawijaya