Resensi Buku Novel The Silk Worm Karya Robert Galbraith
Identitas Buku
Judul buku : The Silk Worm
Penulis : Robert Galbraith
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1 (Pertama)
Tebal :
536 hlm
Memang sedikit terlambat jika saya baru meresensi
buku ini. Tapi buat saya buku ini tetap saja menarik untuk dibahas kapan saja
^_^. Buku ini secara resmi terbit pada Oktober 2014. Tapi saya baru punya pada
akhir Desember 2014. Dan baru rampung baca pertama pada Januari 2015. Baca
ulang yang lebih detail pada pertengahan Februari 2015.
Robert Galbraith
adalah nama pena (yang lain) dari JK Rowling, penulis perempuan yang telah
dikenal sebagai penulis Harry Potter. Sejak menelurkan 7 seri Harry Potter
memang JK Rowling telah berusaha melepas image dunia “Potter” yang melekat
dalam nama dan karyanya. Novel perdananya selepas Potter adalah The Casual
Vacancy. Namun nama pena yang digunakan sama dengan saat menulis Harry Potter.
Sehingga boleh dikatakan masih belum lepas dari “jejak” Potternya. The Silk
Worm merupakan karya keduanya sebagai Robert Galbraith setelah The
Cuckoo’s Calling.
Dengan nama
Robert Galbraith ini, dihadirkan tokoh baru yang yaitu Cormoran Strike, seorang
detektif partikelir. Sedikit banyak tetap ada kesamaan antara Cormoran Strike
dengan Harry Potter. Kesamaan yang menunjukkan bahwa figur ini “diciptakan”
oleh orang yang sama. Galbraith menekankan ciri fisik sebagai ciri khas Strike.
Deskripsi Cormoran Strike adalah
pria dengan kondisi tubuh tidak utuh. (sebagian) Kaki kanannya sudah diamputasi
(dari lutut ke bawah), karena terkena ledakan bom di Afghanistan.
Keterlibatannya di perang tersebut adalah karena Strike menjadi tentara
tepatnya di Cabang Khusus Angkatan Darat. Yah, Strike adalah seorang veteran
perang.
Dalam novel ini
Cormoran Strike kembali beraksi bersama sang asisten Robin Ellacot. Lepas dari
kasus Lula Landry pada novel pertama (The Cuckoo’s Calling), Strike pun mulai
menikmati sejumlah publisitas yang berdampak pada pekerjaannya. Banyak klien
yang berdatangan, namun dia tetap selektif. Namun ketika bertemu dengan seorang
klien bernama Leonora Quine. Entah kenapa dia menjadi tertarik dengan kasusnya,
meskipun secara finansial tidak jelas. Berikut sinopsis singkat tentang buku
ini:
Seorang
novelis bernama Owen Quine menghilang. Sang istri mengira suaminya hanya pergi
tanpa pamit selama beberapa hari – seperti yang
sering dia lakukan sebelumnya – lalu meninta Cormoran Strike untuk menemukan
dan membawanya pulang.
Namun
ketika Strike memulai penyelidikan, dia mendapati bahwa perihal menghilangnya
Quine tidak sesederhana yang disangka istrinya. Novelis itu baru saja
menyelesaikan naskah yang menghujat orang banyak – yang berarti ada banyak
orang yang ingin Quine dilenyapkan.
Kemudian
mayat Quine ditemukan dalam kondisi ganjil dengan bukti – bukti telah dibunuh
secara brutal. Kali ini Strike berhadapan dengan pembunuh keji, yang
mendedikasikan waktu dan pikiran untuk merancang pembunuhan yang biadab tak
terkira.
Cuplikan di atas
tentu saja membuat pembaca penasaran. Apalagi Galbraith menyajikan alur cerita
yang apik serta akhir yang tidak terduga. Mungkin sedikit mirip dengan The
Cuckoo’s Calling, tokoh antagonis awalnya ditampilkan sisi baiknya. Kemudian
tokoh antagonis ini juga tampil nekat “melawan” bentuk konfrontasi langsung
Strike
.
Mengenai gaya
penulisan, Galbraith tetap tampil dengan gaya khas dari JK Rowling (menurut
saya). Tengok di halaman 136, ada frase : sebagai kompensasi karena
tidak bisa mengajak Strike pulang dan menikah dengannya dan tinggal sekompleks,
dengan mesin pembuat kopi baru yang mengilap dari Lucy-dan-Greg.
Frase yang senada seingat saya kerap muncul dalam 7 seri dari Harry Potter.
Frase ini hanya salah satu contoh. Mungkin masih banyak yang sudah diingat
pembaca lain.
Menarik juga
ketika Galbraith menampilkan sudut pandangnya tentang Islam. Yah, di dalam
novel ini ada sejumlah bagian yang menyinggung tentang burqa sebagai alat
samaran bagi pembunuh. Disusul dengan proses diskusi antara Strike dan Robin
tentang kemungkinan pelaku (menurut sejumlah saksi) memakai burqa dan membawa
makanan halal. Diskusi ini terjadi di tempat umum yaitu di kereta, dengan
(salah satunya) disaksikan oleh perempuan berhijab. Ini diuraikan pada halaman
240, 241, dan 242. Di halaman tersebut juga ditekankan apakah dengan melihat
burqa itu hanya semata saksi yang mengalami Islamofobia. Menarik jika mengingat
komentar JK Rowling di dalam akun twitternya saat ada cuitan dari Rupert
Murdoch tentang serangan terhadap Charlie Hebdo.
Dikutip dari sejumlah media, Murdoch mengatakan semua umat Muslim
di dunia harus memikul tanggung jawab terhadap serangan tersebut, sampai umat
Muslim bertindak untuk menghentikan aksi kekerasan atas nama agama Islam
kembali terjadi. Berikut twit aslinya:
@rupertmurdoch Maybe
most Moslems peaceful, but until they recognize and destroy their growing
jihadist cancer they must be held responsible.
Balasan dari Rowling yang brilian dinilai telah membungkam
Murdoch, yang mengatakan: "Aku terlahir sebagai orang Kristen, jika itu
menjadikan Rupert Murdoch adalah tanggung jawabku, aku akan otomatis keluar
komuni."
@jk_rowling I
was born Christian. If that makes Rupert Murdoch my responsibility, I'll
auto-excommunicate.
Novel ini juga memuat sebuah opini yang mungkin membuat kaum
feminis sedikit bertanya – tanya. Opini ini masuk dalam komentar Michael Fancourt
(salah satu tokoh dalam novel tersebut) tentang penulis wanita. Berikut
cuplikannya “Saya mengatakan bahwa para penulis perempuan yang berhasil, hampir
tanpa terkecuali, tidak memiliki anak. Fakta. Dan saya mengatakan bahwa
perempuan pada umumnya, dengan semangat baik dalam hasrat mereka untuk menjadi
ibu, tidak mampu memberikan konsentrasi tak terbelah yang merupakan keharusan
bagi siapa pun dalam penciptaan karya sastra, sastra yang sejati. Saya tidak
mencabut kembali pernyataan saya. Itu adalah fakta”.
Comments
Post a Comment