2 Abad Letusan Tambora
2 abad sudah berlalu. Ya 2 abad
dari sebuah letusan dahsyat tepatnya 10 – 11 April 1815 hingga 10 – 11 April
2015. Namun pembahasan tentang letusan Tambora nampaknya tidak akan lekang oleh
waktu.
Karena letusannya sangat dahsyat namun juga memberi sumbangan berharga bagi
ilmu pengetahuan. Saya sendiri sempat memposting tulisan tentang gunung Tambora
2 tahun yang lalu, artikel itu bisa dilihat pada link berikut http://prasastishinta.blogspot.com/2013/04/tambora-11-april-1815.html.
Meskipun demikian, saya tetap
ingin berpartisipasi dalam peringatan 2 abad letusan Tambora ini. Tentunya dengan
artikel yang sudah diperbarui karena
makin banyak sumber yang bisa digunakan.
Tambora merupakan salah satu
gunung api yang memiliki riwayat letusan yang dahsyat. Gunung Tambora sejatinya
saat sebelum meletus memiliki tinggi 4300 m (tertinggi di Indonesia saat itu)
---- bandingkan dengan dua gunung yang tergolong tertinggi saat ini Gunung
Rinjani (di NTB) 3.726 m dan Gunung Kerinci (Jambi) 3.805 m. Seorang peneliti
di Bagian Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi Igan
Supriatma menyatakan bahwa Gunung Tambora sebelum meletus sangat tinggi. Karena
tingginya, puncak Tambora pun terlihat dari Bali.
Selain sumber utama sejaman yang
pernah saya singgung pada artikel pertama, yakni laporan resmi penguasa Hindia
Belanda saat itu Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles. Laporan itu berjudul
“Narrative of The Effects of The Eruption
from Tomboro Mountain, In The Island of Sumbawa. On the 11th and 12th
of April 1815”. Sumber lain
yang menceritakan letusan Tambora adalah memoar Raffles yang berjudul Memoir of The Life and Public Service of Sir
Thomas Stamford Raffles (1830).
Letusan Tambora juga terekam
dalam memori masyarakat Sumbawa. Rekaman itu berupa cerita rakyat yang
berkembang dan ada versi tertulisnya. Majalah Tempo menyebut ada tiga versi
tentang letusan Tambora versi rakyat. Tiga versi tersebut adalah:
1.
Versi pertama disebut dalam Handboek der Landen
Volkekunde, Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie
volume II (1841). Buku ini karya dari Philippus Pieter Roorda van Eysinga (1796
– 1856), guru besar bahasa dan etnologi.
Versi ini mengisahkan ada seorang Arab datang ke Negeri
Tambora. Saat akan sholat, Said melihat seekor anjing. Si penjaga masjid enggan
mengusirnya karena anjing itu milik Sultan. Maka Said pun menyebut Sultan
kafir. Makian ini sampai ke telinga Sultan. Sultan pun marah. Sultan pun mengundang
Said dalam sebuah perjamuan yang diatur. Sultan menghidangkan masakan daging
anjing yang ada di masjid itu. Sultan lalu menyuruh orangnya membunuh Said di
atas gunung Tambora. Setelah kematian Said, api di gunung menyala, mengejar pembunuh Said ke segala
tempat: ke kota, hutan, darat, ataupun
laut.
2.
Versi kedua terdapat dalam Syair Kerajaan Bima
yang ditulis Khatib Lukman, keturunan Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah.
Versi ini mengisahkan Syair tersebut mengisahkan
seorang pedagang Arab asal Negeri Rum bernama Haji Mustofa singgah di tanah
Tambora. Sultan Tambora membunuh tuan Haji. Namun tidak dijelaskan apa
penyebabnya (pembunuhan tersebut). Yang pasti, perbuatan Sultan membuat Allah
Ta’ala marah, dengan meletusnya Tambora.
3.
Versi ketiga dideskripsikan dalam Ensiklopedia
Bima (2004) karangan Muslimin Hamzah.
Versi ini mengisahkan bahwa seorang dai pengelana asal
Baghdad bernama Syekh Saleh Al Baghdadi. Kedatangan Syekh Saleh bermaksud
mengislamkan masyarakat setempat. Pada awal kedatangannya Syekh Saleh diterima
dengan baik. Tapi ternyata itu hanya pura – pura. Sekali waktu masyarakat
Tambora menjamu Syekh. Gulai dihidangkan. Syekh menikmati gulai tersebut.
Setelah ia makan, masyarakat bertanya bagaimana rasa masakannya. “
Alhamdulillah, sangat enak,” kata Syekh. “Gulai yang enak itu adalah daging
anjing!” ujar masyarakat.
Betapa kagetnya Syekh. Dia berdoa agar Allah memberikan
ganjaran pada mereka. Syekh lantas pergi ke barat, arah pesisir Kerajaan Dompu.
Tak berapa lama, bencana datang. Gunung Tambora meletus. Hujan batu dan abu
serta lahar panas menyapu masyarakat di dua kerajaan itu.
Secara umum letusan Tambora
memberikan dampak pada 3 Aspek berikut:
1.
Cuaca
Gunung Tambora saat meletus menyemburkan 160 km3
material abu, gas dan batuan. Semburan ini membentuk tiga kolom asap yang
tingginya 43 kilometer menembus lapisan stratosfer (Tempo). Nah, konsentrasi
partikel – partikel debu (yang sumber alami utamanya adalah letusan gunung
berapi) pada atmosfer bumi dapat menghalangi sinar matahari menyebabkan bumi
menjadi dingin. Kondisi inilah yang disinyalir menyebabkan rentetan peristiwa
lain di berbagai belahan dunia.
Di Eropa disebut sebagai “A Year Without Summer” jadi
sepanjang tahun dalam tiga tahun berturut pasca letusan Tambora, Eropa tidak
pernah “melihat matahari”. Walhasil kegagalan panen terjadi di mana – mana.
Tentunya ini diikuti dengan kelaparan dan wabah penyakit.
Ketidak hadiran matahari juga dirasakan oleh sejumlah
warga negara Amerika Serikat. Sehingga memicu berdirinya sejumlah negara bagian
baru. Di mana negara – negara ini berdiri di wilayah yang relatif ringan dalam
mendapat efek Tambora.
Selain memicu kelaparan, efek pada anomali cuaca ini
juga populer disandingkan dengan kekalahan Napoleon dalam pertempuran di
Waterloo. Yah, saat pertempurn ini berlangsung hujan yang cukup deras (yang
menurut sejumlah pakar tidak biasanya terjadi). Hujan ini yang disinyalir
“merusak” kemenangan Napoleon. Namun dari segi historis perlu dilakukan kajian
ulang untuk masalah ini.
2.
Transportasi
Selain cuaca, letusan Tambora juga memberi dampak pada
perkembangan alat transportasi. Seiring dengan terjadinya kelaparan di sejumlah
wilayah, maka kuda yang merupakan salah satu alat transportasi utama masa itu
menjadi semakin langka. Bagaimana tidak, kuda banyak disembelih sebagai solusi
dalam menghadapi kelaparan. Maka salah seorang ilmuwan Jerman, Karl von Drais
pun terinspirai untuk membuat alat transportasi yang disebut laufmaschine. Nah
alat inilah yang diduga kuat sebagai cikal bakal lahirnya sepeda.
3.
Karya Sastra
Letusan Tambora atau tepatnya gangguan cuaca pasca
letusan Tambora juga menginspirasi lahirnya sejumlah karya sastra yang
tergolong populer di masa yang akan datang. Misalnya Frankenstein karya Mary Shelley dan The Vampyre karya John Polidori. Selain kedua karya sastra
tersebut, juga ada puisi berjudul Darkness
karya dari Lord Byron.
Tambora memang hanya sebuah gunung yang berada belahan
timur Indonesia. Tapi letusannya telah melintasi batas negara dan wilayah.
Sumber:
Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 30 Maret – 5 April
2015.
Bernice de Jong Boers dan Helius Sjamsuddin.
Letusan Gunung Tambora 1815. Penerbit Ombak.
Comments
Post a Comment