Hijrah vs realitas

Penulis            : Kalis Mardiasih
Penerbit          : Buku Mojok
Cetakan          : Pertama, Oktober 2019
Tebal               : xiii + 210 halaman

Kumpulan tulisan yang mencoba mengkritisi konsep beragama dengan berhijrah yang sedang menjadi trend saat ini. Buku ini menyajikan realita di tingkat masyarakat awam tentang penerapan agama Islam di Indonesia. Islam yang mampu merangkul semua kalangan dan (sudah) membumi di Indonesia. Penulis menguraikan berdasarkan fakta sejarah mengenai kehadiran Islam di Indonesia. Islam sejak awal kehadirannya bersikap ramah. Poin yang menarik bagi saya adalah keberanian mengungkap fakta sejarah, sesuatu yang terkadang dianggap remeh oleh banyak pihak. Hal ini setidaknya menyadarkan bahwa aspek sejarah itu penting dan berpengaruh hingga saat ini.


Pembagian tulisan dalam lima bab di dalam buku ini juga mempermudah pemahaman. Namun secara garis besar tulisannya mengandung tujuan yang sama. Sebuah kritik pada tingkah kelompok yang mengaku “sangat” memahami ajaran agama Islam.
Secara pribadi saya mengapresiasi pemahaman sejarah mbak Kalis Mardiasih. Sebagai bagian dari generasi Y (karena mbak Kalis lahir tahun 1995), tulisannya pada artikel Generasi Z yang Tidak Pendendam mampu membuat saya yang suka baca buku sejarah respek. Dengan gamblang, dia menulis tentang perbedaan penilaian pada sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Bagi kebanyakan orang saat ini, Pramoedya Ananta Toer adalah figur yang hebat. Melalui karya-karyanya, salah satunya Tetralogi Pulau Buru, nama Pram begitu melekat dalam benak orang Indonesia, sebagai korban pelanggaran HAM Orde Baru. Karena beliau anggota Lekra, organisasi seniman yang berafiliasi pada PKI (Partai Komunis Indonesia).
Namun penilaian ini tidak berlaku pada orang yang hidup pada sebelum peristiwa G 30 S 1965 atau sekitar tahun 1960 an. Mochtar Lubis misalnya, dia mengalami sendiri perlakuan dari para anggota PKI pada masa demokrasi terpimpin. Maka ketika Mochtar Lubis mengetahui bahwa Pramoedya mendapat penghargaan Ramon Magsaysay tahun 1995, beliau memutuskan mengembalikan penghargaan Ramon Magsaysay yang pernah diterimanya tahun 1958. Hal ini karena bagi beliau, Pram tidak layak menerima penghargaan tersebut, mengingat sepak terjangnya pada tahun 1960-an.
Narasi ini mengingatkan saya pada penjelasan sejarawan Asvi Warman Adam, bahwa generasi sebelum tahun 1965 menganggap orang-orang Komunis tidak kalah kejam dalam memperlakukan lawannya. Sementara setelah tahun 1965, orang-orang Komunis ini lebih banyak dianggap sebagai korban. Tanpa mengingat apa yang dilakukan periode sebelumnya. 
Artikel tersebut juga menyimpulkan bahwa generasi Z dalam pengamatan Kalis justru lebih netral. Mereka tidak mudah terpengaruh sebuah informasi. Karena informasi yang bisa  diakses oleh generasi ini sangat beragam. Hal ini menyebabkan generasi Z lebih terbuka, dan tidak serta merta terpengaruh sebuah informasi.
Penulis berupaya menyajikan sebuah kritik pada fenomena hijrah dan belajar agama yang kemudian memunculkan kelompok yang merasa paling benar. Sebagaimana dilansir oleh NU Online, dalam tulisan Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (bagian 3) oleh Ahmad Makki, pada 4 September 2019, wacana hijrah yang menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari mulai populer pada tahun 2014. Pemicunya adalah film biopik Hijrah Cinta yang memotret kisah hidup almarhum Ustadz Jefri Al-Buchori. Melalui dokumentasi Google Trends Indonesia kita bisa menelusuri bahwa selepas film tersebut minat kepada kata hijrah memang menurun, tapi tidak pernah sampai jatuh ke level normal sebelumnya. Bahkan secara gradual terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tren tersebut banyak dibantu oleh publikasi berbagai media daring tentang gejala para selebritas yang memutuskan untuk menekuni gaya hidup religius dan menyebutnya sebagai hijrah (Putri R. D., 2018). Belakangan penetrasi wacana hijrah merasuk ke berbagai platform media sosial yang populer di Indonesia. Sebelum tren wacana hijrah, pada umumnya perubahan gaya hidup menjadi religius kerap disebut sebagai taubat, atau mendapat hidayah. Sebagai perbandingan, kisah hidup Ustadz Jefri Al-Buchori bisa menjadi contoh sempurna sebagai inspirasi wacana hijrah seperti kerap digambarkan saat ini. Meski begitu semasa hidupnya Buchori tidak pernah dinarasikan melakukan hijrah, meski masa lalunya kerap direproduksi dalam profilnya di berbagai media (lihat Fathiyah, 2013; KapanLagi, n.d.; Samantha, 2005; Redaksi eramuslim, 2013).
Realita yang kemudian terjadi di lapangan adalah, kondisi sebelum berhijrah dianggap benar-benar buruk dan harus ditinggalkan. Inilah yang kerap menjadi pangkal masalah, karena kemudian menciptakan mindset bahwa orang lain yang belum hijrah kudu disadarkan juga. Nah, penyadaran orang lain ini yang kerapkali cenderung kebablasan.
Penulis mencoba menampilkan gambaran nyata di tingkat masyarakat awam, bahwa kehidupan mereka pada dasarnya tidak bisa hanya dilihat menggunakan penilaian hitam putih atau benar salah saja. Skala yang kerap digunakan kelompok yang mengklaim sudah “hijrah” tadi. Masyarakat awam juga memiliki penilaian/standar sendiri. Kebanyakan malah sifatnya simple. Karena standar yang digunakan berbeda, sementara kelompok yang sudah berhijrah tadi tidak jarang sangat kaku dalam mengharuskan penerapan standar kelompoknya. Pada titik tersebut, “benturan” kerap muncul.  
Dengan gaya tutur bercerita, tulisan-tulisan dalam buku ini menjadi semakin menarik. Apalagi penulis ini memang tidak asal cerita tetapi juga menyajikan teori yang telah diketahui dan pengalamannya berinteraksi dengan berbagai kalangan, baik generasi yang lebih muda, generasi yang sepantar maupun generasi yang lebih tua dari penulis. Cara ini bagi saya sebagai pembaca, lebih meyakinkan.
Tulisan ini mampu menunjukkan bahwa di tingkat masyarakat awam atau akar rumput kehidupan beragama itu simple dan tidak ribet. Tidak melulu harus dilengkapi dalil. Kontribusi tulisan Mbak Kalis ini bagi masyarakat adalah menunjukkan potret dan keinginan masyarakat awam dalam menjalankan kehidupan beragama. Selain itu tulisan juga menyajikan sejumlah hipotesis tentang generasi Y dan Z. Hipotesis yang lahir dari interaksi penulis ketika bertemu dan berdialog dengan mereka. Kutipan pesan dari penulis yang menarik salah satunya adalah “Gen Y dan Z memiliki kebiasaan tidak bisa lepas dari media sosial, maka sebagai seorang muslim kita harus senantiasa memperbarui pola pikir dan kiprahnya sesuai zaman sehingga bisa belajar agama bersama generasi ini”. Salam Literasi.



.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya

Telaah singkat Kidung Harsawijaya