Kota-kota di Jawa, sejarah pembentukan dan strukturnya
Judul Buku : Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII
sampai Pertengahan Abad XX
dipandang
dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya
Penulis : Handinoto
Penerbit : Penerbit Ombak
Cetakan : I, 2015
Tebal : ix +266 hlm
ISBN : 978-602-258-291-5
Bagaimana sebuah kota itu
dibangun? Bagaimana pemukiman bisa berkembang menjadi lebih luas. Pertanyaan
itu kerap muncul di benak kita sebagai manusia biasa. Dan biasanya jawaban kita pasti akan mengacu teori-teori
yang sudah ada. Nah, teori-teori tersebut kerap kali berasal dari Barat.
Padahal peradaban Barat dan Timur
memiliki perbedaan. Peradaban Timur termasuk Indonesia sendiri telah berlangsung
jauh sebelum interaksi dengan bangsa Eropa/Barat. Berikut kutipan dari Juan Pedro
Posani (2006) arsitek dari Amerika Latin yang menyatakan bahwa dunia Timur
memiliki perbedaan dalam hal perkembangan kotanya, “Kota kami tumbuh di
masyarakat yang berbeda. Kami tidak dapat meniru Barat, dunia kami berbeda.
Resep Barat merupakan resep spektakuler yang tidak memenuhi kebutuhan kami.
Oleh karena itu, biarkanlah kami perbaiki kesalahan kami sesuai cara kami,
termasuk konsekuensi penjajahan. Di masa depan, siapa tahu bisa terjadi bahwa
kami dapat mengajar orang barat.”
Kajian mengenai
bagaimana sebuah kota di Indonesia tumbuh ada di dalam buku ini. Memang daerah
yang menjadi focus penelitian dipersempit menjadi Jawa saja. Buku ini
menampilkan kajian mengenai perkembangan kota-kota di Jawa Pra Kolonial sampai
dengan masa kolonial. Buku ini menguraikan sejumlah teori terkait tata kota
masa Majapahit. Kemudian diikuti tata kota masa Yogyakarta dan Surakarta.
Melalui buku ini, peneliti
(Ir. Handinoto, M.T) mengkaji pola tata kota yang berbeda antara di Indonesia
dengan negara barat. Titik berat buku ini pada bentuk dan struktur dari kota.
Pembahasan buku ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu: awal perkembangan
kota-kota di Jawa, kota-kota di Jawa setelah datangnya Belanda sampai tahun
1900 dan kota-kota di Jawa setelah Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903.
Sebelum
Kedatangan Belanda
Kota-kota di Jawa pada masa
prakolonial dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu kota-kota perdagangan
di daerah pesisir, sedangkan jenis kedua ialah pusat-pusat kerajaan yang
bersifat sakral, yang berada di pedalaman. Kota yang berada di pedalaman ini
biasa bersifat agraris.
Sejarah perkembangan struktur
tata ruang kota di Jawa tidak bisa dilepaskan dari konsep awal penataan ibu
kota kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya. Ibu kota kerajaan kuno di
Jawa, seperti: Majapahit (abad ke-14), Mataram-Islam (Kotagede, Pajang, dan
sebagainya) sampai perkembangan ibu kota kerajaan pada abad ke-18 (Surakarta,
Yogyakarta) di Jawa, penataannya selalu didasarkan pada konsep makro dan
mikrokosmos. Konsep inilah yang menjadi dasar dari pembangunan kota-kota lain
pada masanya.
Sebuah ciri penting dari konsepsi
tata ruang di Jawa ialah sebuah poros utama yang menurut arah mata angin. Poros
utama dari sebuah kota Jawa ialah poros Utara-Selatan, dimulai dari keraton,
melewati alun-alun di antara dua pohon beringin, melewati jalan utama kota,
sampai ke titik akhir di sebelah Utara kota. Titik akhir ini di kota Yogyakarta
berupa sebuah Tugu.
Fungsi utama dari poros
Utara-Selatan di sebuah kota di Jawa adalah sebagai alat penghubung antara
pusat kekuasaan yang sakral di Selatan dan wilayah administrasi dan perdagangan
yang profan di Utara.
Hingga abad ke-18,
kota-kota di Jawa masih memiliki tata ruang kota yang kontinu. Kontinuitas
tersebut dapat ditemukan dengan jelas di dalam penggunaan prinsip-prinsip dasar
penataan ruang yang sama. Prinsip dasar tersebut adalah mikrokosmos hierarkis
dan mikrokosmos dualistis.
Mikrokosmos hierarkis
adalah konsep untuk menata kota berdasar hierarki atau tingkatan yang berbeda. Sementara
mikrokosmos dualistis menurut Santoso (1984) dapat diartikan sebagai suatu
usaha untuk menciptakan kerujukannya antara ‘dunia atas’ dengan ‘dunia manusia’
yang menjadi syarat bagi terbentuknya kesejahteraan hidup manusia di bumi.
Setelah
kedatangan Belanda
Kedatangan Belanda ke Nusantara
membawa serta pola permukiman yang baru. Hal ini karena orang Belanda tidak
bergabung dengan pemukim Pribumi yang sudah ada. Namun mendirikan pos-pos
perdagangan tersendiri, yang diperkuat dengan mendirikan benteng di kota
pesisir.
Pada awalnya permukiman orang
Belanda tidak memiliki pengaruh pada pemukiman pribumi di Jawa dan Madura. Hal
ini karena mereka menempatkan diri hanya di sebelah pantai dan lagi permukiman
mereka mandiri. Meskipun di kemudian hari berangsur-angsur timbul kawasan untuk
Pribumi dan Cina di lingkungan permukiman orang Belanda ini.
Baru pada abad ke-19, terjadi
perubahan struktural dalam bentuk pola pemukiman orang Belanda. Di sini model
eksploitasi kolonial memegang peranan yang penting. Pembagian Pulau Jawa
menjadi beberapa karesidenan sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Daendels.
Kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1826, pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang yang disebut Wijkenstelsel. Undang-undang
ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal di
daerah/wilayah yang telah ditentukan di dalam kota. Misalnya orang Cina harus
tinggal di Pecinan. Undang-undang ini menyebabkan secara fisik kota-kota di
Jawa dipisahkan secara jelas menjadi tiga wilayah besar. Pertama daerah orang
Eropa (Europeesche Wijk), kedua daerah orang Cina (Chineese Wijk)
dan orang Timur asing lainnya (Vreemde Oosterlingen) serta yang ketiga
adalah daerah tempat tinggal orang pribumi setempat.
Kemudian pada tahun 1903 pemerintah kolonial mengeluarkan
Undang-undang Desentralisasi. Undang-undang ini bertujuan mengatur otonomi
pemerintahan kota. Undang-undang Desentralisasi ini bermaksud memberikan
pemerintahan sendiri pada wilayah (Karesidenan) atau bagian dari wilayah
(afdeling). Dampaknya adalah terbentuknya sejumlah kota-kota baru. Mereka
sengaja didirikan sebagai bentuk lapisan pemerintahan baru antara Gubernur
Jenderal dengan desa.
Undang-undang ini memberi dampak pada penataan kota. Pada tahun-tahun
selanjutnya terdapat sejumlah undang-undang dan peraturan terkait penataan
sebuah kota. Salah satunya adalah rencana Stadsvorming Ordonantie karya
Thomas Karsten. Karsten adalah arsitek dan perencana wilayah permukiman di Hindia Belanda. Rencana ini baru disahkan pada tahun 1948 menjadi Stadsvorming
Ordonantie (Ordonansi Pembentukan Kota).
Setiap
kota punya sejarah
Topik penelitian ini diambil
karena dewasa ini banyak terjadi pembangunan kota di Indonesia yang hanya
meniru desain kota-kota besar. Seperti Jakarta dan Surabaya. Hal ini terjadi
sebagai akibat dari ketidaktahuan atas asal mula perkembangan kotanya sendiri
di masa lalu. Selain itu munculnya kegagalan dari pengembangan pembangunan
sebuah kota, yang lebih disebabkan keinginan membentuk suatu tatanan ruang kota
baru tanpa mengenal terlebih dulu tatanan lama yang sudah ada.
Peneliti berhasil menunjukkan
jika perkembangan kota-kota di Jawa memiliki teori perkembangan yang berbeda
dengan kota-kota di Barat. Aspek sejarah memberikan pengaruh yang kuat bagi
perkembangan kota-kota di Jawa. Dimulai dari masa kerajaan Hindu Budha, Islam
di Jawa sampai dengan era kolonial.
Penelitian ini memberikan
sumbangan yang besar bagi kajian sejarah perkembangan kota. Penelitian ini mampu
mengisi kekosongan tentang perkembangan kota-kota di Jawa pada masa klasik
sampai dengan kolonial. Salam Literasi.
Comments
Post a Comment