Grand Hotel de Djokja dalam Pariwisata di Yogyakarta (1911-1942)
Artikel ini sudah dimuat dalam https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/grand-hotel-de-djokja-dalam-pariwisata-di-yogyakarta-1911-1942/ |
Situasi Hotel Grand Hotel de Djokja terekam dalam kartu pos tanpa tahun (Foto: Dok. BPCB DIY 2021) |
Grand Hotel de Djokja
dalam Pariwisata di Yogyakarta (1911-1942)
Ik
wil geen kwaad spreken van de Indische hotels. Integendeel. Het Grand Hotel te
Djocja b. v. kan met de beste hotels in Europa wedijveren (Saya
tidak ingin berbicara buruk tentang hotel (di) Hindia Belanda. Sebaliknya.
Grand Hotel di Djocja b. v. dapat bersaing dengan hotel-hotel terbaik di Eropa
)
Louis B.M.Lammers, De Java Post, 24 Oktober 1913
Kehadiran hotel di Jawa umumnya diawali
dengan penginapan kota. Penginapan kota biasa dijumpai di Pelabuhan. Sementara
di Yogyakarta, yang termasuk daerah pedalaman, keberadaan hotel bisa jadi
memiliki latar belakang yang berbeda.
Keberadaan hotel di Yogyakarta bisa dihubungkan
dengan ramainya pariwisata pada masa itu. Yogyakarta pada masa Hindia Belanda
merupakan salah satu kota yang besar. Buku Van
Stockum’s traveler handbook for Dutch East Indies (1930) menyebutkan jika kota Yogyakarta merupakan
kota keenam terbesar di Jawa pada masa itu.
Kota Yogyakarta juga merupakan salah
satu destinasi wisata bagi sejumlah wisatawan. Dan peran tersebut telah
dijalani sejak awal abad-20. Maka mulailah bermunculan sejumlah hotel. Reisgids voor Jogjakarta en Omstreken
(1909) karya Groneman, menyebutkan beberapa hotel dalam peta Yogyakarta yaitu
Hotel Centrum, Hotel Tugu dan Hotel Mataram. Ketiga hotel tersebut berada di kawasan yang
dikenal sebagai Maliboro.
Pada perkembangan selanjutnya Hotel
Centrum, yang berlokasi di sebelah selatan Rumah Residen (sekarang Gedung
Agung) berubah menjadi Kantor perusahaan NILLMIJ, sebuah perusahaan asuransi
Jiwa. Sementara Hotel Tugu dan Hotel Mataram masih terus berlanjut fungsinya.
Grand
Hotel de Djokja (1911-1942)
Tahun 1911, sebuah hotel baru dibangun
di Yogyakarta. Sebuah hotel yang kelak diklaim menjadi hotel yang paling mewah.
Pada tanggal 10 September 1911, peletakan batu pertama untuk pembangunan hotel
ini dimulai. Kala itu pengelola berharap pembangunan hotel akan selesai pada 1
Juli 1912. Majalah De Indische Mercuur tanggal 17 Oktober 1911 menyebut
jika Hotel ini bernama Grand Hotel de Djokja.
Grand
Hotel de Djokja, memiliki
fasilitas yang cukup mewah pada masa itu. Surat kabar De Express 18
September 1912 menerbitkan liputan khusus terkait pembukaan hotel dan fasilitas
yang disediakan hotel tersebut. Pembukaan
hotel dilakukan dengan sebuah makan malam yang istimewa. Makan malam ini berlangsung
selama dua malam. Makam malam pertama mengundang kelompok upper ten di
Yogyakarta. Kemudian pada hari berikutnya, masyarakat umum diberi kesempatan
untuk hadir di acara makam malam dengan harga terjangkau.
Bangunan
utama dari hotel ini dirancang oleh arsitek Harmsen dan Pagge. Sementara
bangunan samping atau sayap, terdiri dari lima paviliun, yang masing -masing
dilengkapi dengan beranda depan, kamar duduk dan tidur. Seluruh bangunan dan semua
kamar sudah dilengkapi dengan lampu listrik dan instalasi bel.
Hotel
ini juga dilengkapi dengan garasi, yang berukuran besar. Ini membuat pengunjung
yang memiliki mobil bisa memarkirnya dengan aman.
Gaya
bangunan hotel adalah bangunan kolonial tipe masa peralihan. Berdasarkan sumber
berita dan foto, tipe ini nampak pada bentuk atap, bentuk gevel yang mencolok,
kolom yang melekat pada dinding. Ciri lainnya adalah terdapat tower pada bagian
depan bangunan.
Grand Hotel de Djokja
kemudian menjelma menjadi sebuah hotel yang cukup dikenal pada masanya.
Sejumlah kegiatan digelar di Hotel tersebut. Pada tahun 1925, Grand Hotel de
Djokja menjadi lokasi pembentukan ABHINI (Algemeene Bond Hotelhuders in
Nederlandsch-Indie). ABHINI menurut Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942), adalah sebuah perhimpunan dari para pemilik,
pengelola, pengurus hotel dan restoran, dan para direktur atau komisaris
perusahaan hotel. Pembentukan ABHINI sendiri bertujuan meningkatkan peran
industri perhotelan dalam pariwisata pada masa itu.
Peningkatan jumlah kunjungan membuat pengelola Grand Hotel
memutuskan melakukan renovasi. Renovasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya
tampung hotel. Renovasi dilakukan pada tahun 1929. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor
Ned-Indie 10 April 1929 menyebutkan bahwa pihak Grand Hotel akan
melakukan sejumlah perbaikan pada paviliun-paviliunnya. Perbaikan tersebut
direncanakan dilakukan pada bulan Juni 1929. Bangunan paviliun akan diganti
dengan bangunan bertingkat.
Pada
27 Juni 1930, harian Het Nieuws van den Dag Voor Ned-Indie menyebutkan
bahwa bangunan sayap kanan sudah selesai direnovasi menjadi bangunan
bertingkat. Pekerjaan renovasi akan dilanjutkan untuk bangunan pada sayap kiri.
Seluruh pengerjaan renovasi ditangani biro Sitzen & Louzada. Gedung baru
ini direncanakan siap pada akhir September 1930.
Renovasi
ini sekaligus merubah gaya bangunan hotel ini. Jika di awal pembangunannya,
bangunan memiliki karakteristik bangunan kolonial masa peralihan. Maka setelah
renovasi, karakteristik bangunannya menjadi bangunan kolonial modern.
Peningkatan
daya tampung hotel, membawa Grand Hotel de Djokja semakin dikenal publik.
Nama hotel ini dicantumkan pada buku
atau panduan perjalanan ke Hindia Belanda masa itu. Buku Van Stockum’s traveller
handbook for Dutch East Indies (1930). Dalam buku tersebut, disebutkan
di Yogyakarta saat itu terdapat 3 hotel yaitu:
1.
Grand Hotel de Djokja yang menyediakan 60 kamar
2.
Hotel Tugu menyediakan 35 kamar
3.
Hotel Mataram menyediakan 30 kamar
Keterangan ini
menunjukkan jika Grand Hotel de Djokja merupakan
hotel terbesar yang ada pada masa itu serta layak untuk menjadi rujukan bagi wisatawan
asing.
Salah
satu tamu yang pernah menginap di hotel ini adalah Charlie Chaplin, seorang
pelawak, sutradara film, dan komposer dari Inggris yang terkenal pada era film
bisu. Chaplin berkunjung ke Hindia Belanda pada tahun 1932. Salah satu kota
yang dikunjunginya adalah Yogyakarta. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor
Nederlandsch-Indie dan Soerabaijasch Handelsblad pada 1 April 1932
menyebutkan jika Charlie Chaplin datang ke Yogyakarta menggunakan moda
transportasi kereta api. Kehadirannya saat itu bersama saudaranya Sydney
Chaplin dan seorang pembantunya. Selama
di Yogyakarta, Chaplin sempat bepergian ke Candi Borobudur dan bertemu dengan
Gubernur Yogyakarta.
Grand Hotel de Djokja merupakan
hotel yang kerap digunakan untuk sejumlah acara yang bertujuan menarik
wisatawan. Salah satunya adalah kerja sama dengan Djokdja Vooruit. Sunjayadi
menyebutkan jika Djokdja Vooruit
merupakan sebuah perhimpunan yang diharapkan dapat memajukan pariwisata Yogyakarta
masa itu. Perhimpunan ini membuat
rencana perjalanan untuk objek-objek wisata dan membuat reklame untuk menarik
minat para wisatawan. Perhimpunan ini diresmikan pada 26 April 1936.
Djokdja Vooruit sering
mengadakan acara yang melibatkan Grand Hotel de Djokja. Juni 1937, perhimpunan
ini merayakan pesta peresmian kedai teh di Gunung Piyungan, Patuk. Acara ini
banyak dihadiri orang penting Yogyakarta seperti Gubernur Bijleveld, Abbenhuis,
Pangeran Purboyo, Pangeran Pakuningrat yang mewakili Sultan Yogyakarta, para
bupati, wedana dan orang terkemuka lainnya beserta istri. Malamnya, mereka kembali
ke Yogyakarta disambut pawai obor dari Societet
menuju Grand Hotel Yogyakarta. Acara ditutup dengan makan malam dan dansa di
Grand Hotel.
Acara selanjutnya yang digelar di hotel ini
adalah Tweede Java Wegwijzerrit.
Ini adalah semacam reli mobil dan sepeda motor. Acara ini digelar Djokdja
Vooruit dengan dukungan JMC (Java Motor Club) pada Oktober 1937.
Harian Bataviaasch Nieuwsblad 11
Oktober 1937 menyebutkan bahwa acara ini diikuti oleh 27 peserta dengan
mengambil start di depan Grand Hotel de Djokja menuju arah Gunung Kidul.
Meletusnya perang Dunia II pada tahun 1939 membuat
kegiatan pariwisata di Hindia Belanda mulai terganggu. Wisatawan dari sejumlah
negara tertentu di Eropa tidak lagi berkunjung ke Hindia Belanda. Kegiatan
pariwisata sifatnya terbatas seiring dengan kehadiran Jepang di Hindia Belanda
pada Maret 1942. Sunjayadi menyebutkan jika sebelumnya para pelaku kegiatan
pariwisata adalah orang Belanda, pribumi, Tionghoa, dan orang asing, maka para
pelaku kegiatan pariwisata periode ini adalah bala tentara Jepang serta
segelintir masyarakat pribumi di Hindia-Belanda.
Posisi Grand Hotel de Djokja( No.57) dan Hotel Mataram (No.58) (Diolah dari Jogjakarta en Omstreken 1925) (Foto: Dok. BPCB DIY 2021)
Epilog
Setelah proklamasi kemerdekaan, Grand
Hotel de Djokja bukan sekedar sekadar berperan sebagai penginapan. Hotel
ini juga berperan sebagai markas militer sementara. Grand Hotel juga
mengalami sejumlah pergantian nama. Saat ini dikenal dengan nama Grand Inna
Malioboro.
Sejumlah renovasi dilakukan untuk perluasan
hotel ini. Salah satu tahap renovasi perluasan
kapasitas hotel adalah dengan menggabungkan bangunan yang berada di sebelah
selatannya, yaitu bangunan bekas markas Polisi Wilayah Yogyakarta. Bangunan bekas markas Polisi Wilayah
Yogyakarta diduga adalah bekas bangunan hotel Mataram. Hotel ini merupakan
salah satu hotel yang cukup populer di masa Hindia Belanda. Dan berdasarkan peta
Jogjakarta en omstreken tahun 1925, letak hotel ini tepat berada di
sebelah selatan dari Grand Hotel de Djokja.
Ditulis
oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola
Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di
Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Comments
Post a Comment