Rasa Frustrasi Sang Raja dan Candi Kedulan

             
Candi Kedulan (Foto: Dok. BPCB DIY 2020)

            Kajian sejarah budaya Indonesia memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah proses pendirian sebuah bangunan suci, yang dikenal masyarakat sekarang sebagai candi. Pengertian candi menurut Cecep Eka Permana dalam Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya, candi adalah istilah umum untuk menamakan semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia; baik berupa pemandian kuno, gapura, atau gerbang kuno, maupun bangunan suci keagamaan. Bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, suatu kelompok arca yang menjadi pundhen desa seringkali disebut “candi”.

Candi-candi tersebut tersebar di wilayah Indonesia, baik di Sumatra maupun di Jawa. Kita mengenal adanya Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Gedong Songo di Jawa Tengah, Candi Sambisari, Candi Prambanan, Candi Kedulan ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara di Jawa Timur ada Candi Penataran, Candi Singosari, dan Candi Kidal. Di Jawa Barat juga terdapat kompleks percandian Batujaya.

Nah, di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Candi Kedulan, yang pada tahun 2019 candi induknya rampung dipugar. Candi Kedulan merupakan candi berlatar belakang agama Hindu yang berada di Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi ini pertama kali ditemukan oleh para penambang pasir pada 24 November 1993. Kemudian sejumlah tindakan pelestarian berupa ekskavasi penyelamatan, pengumpulan data, dan anastilosis dilaksanakan selama kurun waktu 1993 - 2001. Ada tiga sumber tertulis yang berkaitan dengan Candi Kedulan antara lain prasasti Sumundul, Pananggaran dan Tlu Ron.

Prasasti Sumundul dan Pananggaran ditemukan tahun 2002. Kedua prasasti ini ditemukan saat berlangsung Studi Kelayakan.  Sementara Prasasti Tlu Ron ditemukan pada tahun 2015 pada saat dilakukan kegiatan prapemugaran.


Prasasti-prasasti tersebut dikeluarkan pada masa pemerintahan raja yang berbeda. Prasasti Sumundul dan Pananggaran berasal dari masa yang sama yaitu 868 Masehi, masuk era Mataram Kuna. Kedua prasasti ini dikeluarkan pada masa raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-884 Masehi). Sementara prasasti Tlu Ron berasal dari tahun 900 Masehi, dikeluarkan pada masa Raja Balitung (898-910 M). Ada selisih 32 tahun antara terbitnya kedua prasasti tersebut.

Prasasti Sumundul dan Pananggaran memuat tentang pembangunan bendungan di daerah yang berada di sekitar Candi Kedulan sekarang. Berdasarkan isi prasasti, pembangunan bendungan digagas oleh saudara dari raja yang berkuasa yaitu Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Bendungan ini dibangun untuk mengairi lahan pertanian di sekitar bangunan suci. Hasil dari lahan pertanian ini yang lazim digunakan sebagai persembahan untuk memelihara bangunan suci. Ini sesuatu yang wajar dilakukan di masa lampau.


Penemuan prasasti Tlu Ron melengkapi informasi isi dari kedua prasasti yang ditemukan sebelumnya. Prasasti ini mengungkapkan asal muasal dari pembangunan bendungan yang diuraikan pada prasasti Sumundul dan Pananggaran. Prasasti Tlu Ron mengemukakan bahwa pembangunan bendungan yang diuraikan dalam kedua prasasti tersebut mengalami kegagalan hingga 3 kali. Pembangunan yang pertama gagal karena ada bencana alam. Pembangunan bendungan yang kedua adalah yang tertera pada prasasti Sumundul dan Pananggaran, juga mengalami kegagalan. Dan pembangunan ketiga juga mengalami kegagalan. Penyebab dari kegagalan pada pembangunan kedua dan ketiga ini tidak diketahui dengan jelas.

Pembangunan bendungan yang keempat inilah yang “beda”.  Pembangunan sebuah bendungan yang gagal hingga 3 kali nampaknya membuat Raja Balitung frustrasi. Akibat kefrustrasian tersebut, Raja Balitung mengeluarkan sebuah keputusan yang tak lazim.

Raja Balitung menunjuk seorang makudur, sebagai pemimpin pembangunan bendungan. Makudur  dalam tradisi Jawa Kuna adalah pemimpin upacara penetapan sima. Sima adalah tanah yang diberi batas dan sebagian hasilnya untuk menunjang keperluan suci keagamaan.

Prasasti Tlu Ron ( Dok. BPCB DIY 2016)

Tugas makudur dalam upacara penetapan sima adalah sebagai pembaca mantra dan sumpah. Makudur juga melakukan tindakan (memecah telur, memotong leher ayam, dan menaburkan abu) yang mengandung lambang bagi pelanggar aturan yang sudah ditetapkan pada saat penetapan status sima.


Penunjukan makudur sebagai pimpinan pelaksana pembangunan nampaknya merupakan upaya agar pembangunan bendungan tidak mengalami kegagalan untuk kesekian kalinya. Kebijakan semacam ini jarang ditemukan pada masa Mataram Kuna. Apakah kegagalan tersebut berkaitan dengan sikap masyarakatnya yang tidak taat pada keputusan raja sebelumnya? Bisa jadi  kegagalan hingga 3 kali itu yang membayang-bayangi benak sang raja Balitung, sehingga mengambil kebijakan tersebut. Apakah itu bentuk frustrasinya sang Raja? Who knows ?

Keberadaan prasasti dan candi Kedulan ini memang memberikan sebuah sumbangan baru dalam khazanah kajian sejarah kebudayaan di Indonesia. Pembangunan bendungan di sekitar candi Kedulan ternyata tidak serta merta berlangsung lancar dalam satu atau dua periode kepemimpinan raja. Bisa jadi seperti yang tertera dalam prasasti Tlu Ron, bahwa pembangunan bendungan berlangsung hingga 4 kali, di bawah kepemimpinan raja yang berbeda.

 

Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.S., M.A.

Pengolah Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum

di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Comments

Popular posts from this blog

Cinta adalah Nol, Nol adalah awal dari segalanya

Telaah singkat Kidung Harsawijaya