Rasa Frustrasi Sang Raja dan Candi Kedulan
Candi-candi tersebut tersebar di wilayah Indonesia, baik di Sumatra
maupun di Jawa. Kita mengenal adanya Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Gedong
Songo di Jawa Tengah, Candi Sambisari, Candi Prambanan, Candi Kedulan ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sementara di Jawa Timur ada Candi Penataran, Candi Singosari,
dan Candi Kidal. Di Jawa Barat juga terdapat kompleks percandian
Batujaya.
Nah, di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Candi Kedulan, yang pada tahun 2019 candi
induknya rampung dipugar. Candi Kedulan merupakan candi berlatar belakang agama Hindu yang berada di Dusun Kedulan, Desa
Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi ini pertama kali ditemukan oleh para penambang pasir pada 24
November 1993. Kemudian sejumlah tindakan pelestarian berupa ekskavasi
penyelamatan, pengumpulan data, dan anastilosis dilaksanakan selama kurun waktu 1993 - 2001. Ada tiga sumber tertulis yang berkaitan
dengan Candi Kedulan antara lain prasasti Sumundul, Pananggaran dan Tlu Ron.
Prasasti Sumundul dan Pananggaran ditemukan
tahun 2002. Kedua prasasti ini ditemukan saat berlangsung Studi Kelayakan. Sementara Prasasti Tlu Ron ditemukan pada
tahun 2015 pada saat dilakukan kegiatan prapemugaran.
Prasasti-prasasti tersebut dikeluarkan
pada masa pemerintahan raja yang berbeda.
Prasasti
Sumundul dan Pananggaran berasal dari masa yang sama yaitu 868 Masehi, masuk
era Mataram Kuna. Kedua prasasti ini
dikeluarkan pada masa raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-884 Masehi). Sementara prasasti Tlu Ron
berasal dari tahun 900 Masehi, dikeluarkan pada masa Raja Balitung (898-910 M).
Ada selisih 32 tahun antara terbitnya kedua prasasti tersebut.
Prasasti Sumundul dan Pananggaran memuat tentang pembangunan
bendungan di daerah yang berada di sekitar Candi Kedulan sekarang. Berdasarkan
isi prasasti, pembangunan bendungan digagas oleh saudara dari raja yang
berkuasa yaitu Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Bendungan ini dibangun untuk
mengairi lahan pertanian di sekitar bangunan suci. Hasil dari lahan pertanian
ini yang lazim digunakan sebagai persembahan untuk memelihara bangunan suci. Ini
sesuatu yang wajar dilakukan di masa lampau.
Penemuan prasasti Tlu Ron melengkapi informasi isi dari kedua prasasti
yang ditemukan sebelumnya. Prasasti ini mengungkapkan asal muasal dari
pembangunan bendungan yang diuraikan pada prasasti Sumundul dan Pananggaran. Prasasti Tlu Ron mengemukakan bahwa
pembangunan bendungan yang diuraikan dalam kedua prasasti tersebut mengalami
kegagalan hingga 3 kali. Pembangunan yang pertama gagal karena ada bencana
alam. Pembangunan bendungan yang kedua adalah yang tertera pada prasasti
Sumundul dan Pananggaran, juga mengalami kegagalan. Dan pembangunan ketiga juga
mengalami kegagalan. Penyebab dari kegagalan pada pembangunan kedua dan ketiga
ini tidak diketahui dengan jelas.
Pembangunan bendungan yang keempat inilah yang “beda”. Pembangunan sebuah bendungan yang gagal
hingga 3 kali nampaknya membuat Raja Balitung frustrasi. Akibat kefrustrasian
tersebut, Raja Balitung mengeluarkan
sebuah keputusan yang tak lazim.
Raja Balitung menunjuk seorang makudur, sebagai pemimpin pembangunan
bendungan. Makudur dalam tradisi Jawa Kuna adalah pemimpin upacara penetapan sima. Sima adalah tanah yang diberi batas dan sebagian hasilnya
untuk menunjang keperluan suci keagamaan.
Prasasti Tlu Ron ( Dok. BPCB DIY 2016)
Tugas makudur dalam upacara
penetapan sima adalah sebagai pembaca mantra dan sumpah. Makudur juga melakukan
tindakan (memecah telur, memotong leher ayam, dan menaburkan abu) yang
mengandung lambang bagi pelanggar aturan yang sudah ditetapkan pada saat
penetapan status sima.
Penunjukan makudur
sebagai pimpinan pelaksana pembangunan nampaknya merupakan upaya agar pembangunan bendungan
tidak mengalami kegagalan untuk kesekian kalinya. Kebijakan semacam ini jarang
ditemukan pada masa Mataram Kuna. Apakah
kegagalan tersebut berkaitan dengan sikap
masyarakatnya yang tidak taat pada keputusan raja sebelumnya? Bisa jadi kegagalan hingga 3 kali itu yang
membayang-bayangi benak sang raja Balitung, sehingga mengambil kebijakan
tersebut. Apakah itu bentuk frustrasinya sang Raja? Who knows ?
Keberadaan
prasasti dan candi Kedulan ini memang memberikan sebuah sumbangan baru dalam khazanah
kajian sejarah kebudayaan di Indonesia. Pembangunan bendungan di sekitar candi
Kedulan ternyata tidak serta merta berlangsung lancar dalam satu atau dua periode kepemimpinan raja. Bisa jadi
seperti yang tertera dalam
prasasti Tlu Ron, bahwa pembangunan bendungan berlangsung hingga 4 kali, di
bawah kepemimpinan raja yang berbeda.
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti,
S.S., M.A.
Pengolah Data Cagar Budaya
dan Koleksi Museum
Comments
Post a Comment