Candi Prambanan Abad ke-19
Artikel ini pernah dimuat di http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/candi-prambanan-abad-ke-19/
Sketsa Bangunan Utama Candi Prambanan dalam buku History of Java (1978) karya Thomas Stamford Raffles (Foto: Dok. BPCB DIY 2022) |
Prasasti Siwagrha yang berangka tahun
778 Saka (856 Masehi) menyebutkan bahwa Candi Prambanan diresmikan pada tahun
tersebut. Peresmian dilakukan oleh seorang raja bernama Jatiningrat. Setelah
itu tidak ada informasi apa pun terkait candi ini.
Candi Prambanan mulai kembali dikenal
pada tahun 1733. Berdasarkan laporan seorang pegawai VOC, C.A. Lons. Lons
melakukan kunjungan ke berbagai tempat di Surakarta dan Yogyakarta. Objek
kunjungan meliputi peninggalan bangunan di keraton Kartasura, Kotagede, dan
juga reruntuhan candi di sekitar Prambanan. Laporan Lons menyebutkan adanya
bukit-bukit di mana bebatuan menyembul di puncaknya. Meskipun terdapat keraguan
apakah laporan itu menyebutkan tentang Candi Prambanan atau candi Sewu.
Reruntuhan candi tersebut kembali
mendapat perhatian pada masa penguasaan Inggris, di bawah kepemimpinan Letnan
Gubernur Thomas Stamford Raffles pada
1811-1816. Raffles memerintahkan C. Mackenzie dan G. Baker melakukan survei dan
deskripsi dari reruntuhan yang ada di sekitar Prambanan. Hasil laporan dari
Mackenzie dan Baker kemudian ditindaklanjuti oleh John Crawfurd, residen Yogyakarta
masa itu. Tindakan Crawfurd ini kemudian menjadi rintisan penelitian arkeologis
Candi Prambanan dan candi-candi di sekitarnya. Deskripsi yang dibuat pada masa
Raffles ini kemudian dituangkan dalam buku The History of Java. Buku ini
terbit pada tahun 1817.
Pada masa penguasaan Raffles, Candi Prambanan dikunjungi oleh penguasa Keraton Yogyakarta masa itu, Sultan Hamengku Buwono III. Candi Prambanan juga menjadi salah satu objek kunjungan dari J.W. Ijzerman, ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja, sebuah perkumpulan arkeologi di Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1885.
Kunjungan
Sultan Hamengku Buwono III
Desember 1812, Sultan Hamengku Buwono
III, mendapat undangan dari John Crawfurd,
untuk berkunjung ke candi Prambanan dan candi Sewu. Babad Bedhah ing Ngayogyakarta karya
Bendoro Pangeran Aryo Panular (1771-1826) menceritakan tentang kunjungan
tersebut pada pupuh XXXIII. Pangeran Aryo Panular sendiri adalah salah satu
putra Sultan Hamengku Buwono I sekaligus menjadi mertua dari Sultan Hamengku
Buwono III.
Babad Bedhah ing Ngayogyakarta
menyebutkan jika rombongan Sultan Hamengku Buwono III ini didampingi John
Crawfurd, John Deans (Sekretaris Residen Yogya), Mayor Dennis Harman Dalton
(komandan garnisun) dan Kapitan Cina Tan Jing Sing. Sultan dan para
pendampingnya menggunakan kereta. Rombongan ini berangkat pada pukul tujuh pagi
dikawal oleh tentara Inggris. Peter Carey dalam buku Inggris di Jawa (1811-1816)
menyebutkan jika tentara Inggris yang mengawal adalah tentara Sepoy dari Bengal
Light Infantry Volunteer Battalion.
Setiba di Prambanan, mereka berhenti
sejenak di pesanggrahan yang berada di tepi jalan untuk menikmati suguhan dari
John Crawfurd. Setelah itu mereka langsung menuju ke candi Prambanan. Rombongan
langsung menyaksikan arca Loro Jonggrang (penyebutan untuk arca Durga
Mahisasuramardini berdasarkan legenda yang berkembang di masyarakat). Setelah
melihatnya, Sultan Hamengku Buwono III memerintahkan pamannya, Pangeran
Kusumoyudo untuk membuat sketsa tokoh tersebut. Pangeran Kusumoyudo adalah
salah satu putra Sultan Hamengku Buwono I dari selir, Mas Ayu Wilopo. Peter
Carey menyebutkan jika Sang Pangeran
memiliki keterampilan dalam bahasa, ketertarikan pada sejarah Jawa dan
penyusunan babad.
Setelah itu, rombongan melanjutkan
perjalanan ke arah utara untuk melihat Candi Sewu. Sepulang dari kunjungan ke Candi Sewu, Sultan
Hamengku Buwono III kembali berhenti di pesanggrahan untuk melihat sketsa yang
telah dibuat oleh Pangeran Kusumoyudo. Sketsa arca Loro Jonggrang sudah
selesai. Namun sketsa arca-arca lain, relief, gerbang dan bangunan yang hancur
belum dibuat. Maka Sultan meminta Pangeran Kusumoyudo beserta asisten seninya,
Adiwarno untuk tetap tinggal dan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Sebelum kembali ke keraton, rombongan
singgah sejenak di pasar untuk menikmati buah-buahan yang berasal dari kebun
milik sultan. Setelah itu, Sultan dan rombongan kembali ke keraton.
Peta Lokasi Candi Prambanan. Diolah dari buku Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) karya J.W. Ijzerman (Foto: Dok. BPCB DIY 2022)
Kunjungan
Ijzerman
J.W. Ijzerman adalah ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja yang menjabat mulai Mei 1886. Ijzerman
menyebutkan jika tujuan pendirian perkumpulan Arkeologi pada 1885 ini adalah
untuk mengumpulkan data. Data tersebut digunakan sebagai studi arkeologi di Jawa Tengah.
Kunjungan Ijzerman sebenarnya tidak
hanya dilakukan ke Candi Prambanan. Kunjungan ini juga dilakukan ke sejumlah
candi dan peninggalan arkeologi yang ada di sekitar Kawasan Prambanan (mencakup
wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Ratu Boko dan
Dataran Sorogedug). Kunjungan ini kemudian menghasilkan sebuah buku Beschrijving der Oudheden nabij de
grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891). Buku ini juga dilengkapi dengan
sejumlah sketsa dan peta peninggalan arkeologi yang tersebar di wilayah
tersebut.
Kunjungan
Ijzerman
yang dilakukan pada tahun 1886 berjarak 73 tahun dengan kunjungan Sultan
Hamengku Buwono III. Sisi menariknya adalah adanya kesamaan deskripsi sejumlah lokasi di dekat
Candi Prambanan.
Deskripsi yang ditulis Pangeran Aryo
Panular dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta untuk bagian pesanggrahan
dan pasar juga dijumpai dalam tulisan Ijzerman. Ijzerman menyebutkan bahwa dia harus menyeberangi sungai Opak, meski
tidak ada jembatan di atasnya. Setelah itu, Ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja itu juga menyebutkan tentang keberadaan
pesanggrahan yang ada di sebelah kanannya atau sebelah selatan dari jalan
utama.
Ijzerman
menuliskan jika pesanggrahan lama ini sebagian telah dibongkar untuk
kepentingan pembangunan rel kereta api dari Semarang ke Yogyakarta. Sementara
letak pasar berada lebih ke timur. Pasar ini berada di perbatasan dan mencakup
wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Pada
saat berkunjung, Ijzerman juga membuat deskripsi singkat dan ilustrasi terkait
sejumlah arca yang dimuat dalam bukunya tersebut. Ijzerman juga melakukan
pembersihan dengan menebang semak belukar dan pepohonan yang menutupi
reruntuhan. Bagian bilik-bilik candi juga dibersihkan dari reruntuhan.
Denah Candi Prambanan. Diolah dari buku Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) karya J.W. Ijzerman (Foto: Dok. BPCB DIY 2022)
|
Epilog
Candi
Prambanan yang telah diresmikan sejak abad ke-9
memang sempat tidak diketahui perkembangannya. Perpindahan kekuasaan
dari Yogyakarta-Jawa Tengah ke Jawa Timur diduga menjadi salah satu penyebab
“hilangnya” candi Prambanan dari catatan sejarah. Baru pada ada abad ke-19 nama
candi Prambanan kembali tampil dalam catatan arsip pemerintah kolonial.
Pada
masa yang sama, terdapat sejumlah tindakan untuk mulai membuat deskripsi dan
sketsa dari candi Prambanan yang kala itu telah runtuh. Proses pemugarannya
baru dimulai pada awal abad ke-20 dan baru diselesaikan pada akhir abad yang
sama. Kompleks Candi Prambanan adalah sebutannya saat ini, mengingat banyaknya
bangunan yang menjadi bagian dari candi ini.
Sejak
tahun 1991, Kompleks Candi Prambanan telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan
Budaya Dunia dengan nama Prambanan Temple Compounds. Maka, kita sebagai
generasi penerus harus bisa melestarikan candi ini, agar tidak “hilang” dari
peredaran zaman, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Ditulis
oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola
Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
Comments
Post a Comment